Friday 26 December 2014

Doraemon Stand By Me: A Review




Akhirnya sempet juga nonton Doraemon Stand By Me setelah dua minggu pemutaran perdananya di Indonesia. Film ini udah menjadi salah satu satu daftar tontonan wajib saya di bulan ini setelah adik saya, Venny ngasih tahu info soal film Doraemon dan teman saya, Nissa langsung mengonfirmasinya.  Why do I have to watch this? Because it’s DORAEMON!


Buat yang lahir di tahun 80-an dan tumbuh besar di era 90-an pastilah mengenal Doraemon. Diputar pertama kali oleh RCTI setiap hari Minggu pukul 08.00, Doraemon adalah tontonan wajib anak-anak di zaman itu. Satu-satunya serial Jepang yang saya sukai sebelum hadirnya Doraemon adalah Oshin di TVRI. Nah, ketika ada Doraemon, si robot kucing inilah yang menduduki peringkat teratas di hati saya. How couldn’t I? He has soooo many cool gadgets in his pocket! Dua gadget favorit saya adalah Baling-baling Bambu dan Pintu Kemana Saja. Oh, how traveling would be so simple with those two gadgets, hahaha. Waktu kecil bapak saya pun hampir selalu membelikan komik Doraemon setiap pergi ke toko buku. Saya sampai merengek minta dibelikan jam flip berbentuk Doraemon. Pensil, pulpen dan penghapus saya juga bergambar Doraemon. I really looovvveeee Doraemon!


Beranjak dewasa saya memang sudah tidak pernah lagi menonton serial Doraemon di televisi. Namun, saya masih suka Doraemon dalam tingkatan berbeda dari masa kecil saya dulu. Makanya, ketika ada Doraemon Stand By Me diputar di bioskop, saya harus menontonnya. Ada ikatan emosional di sana. Walau sampai harus ikut antrian mengular di Blitz Megaplex Bekasi, tetap tidak menyurutkan semangat saya. 

Doraemon Stand By Me mengisahkan awal mula pertemuan Doraemon dan Nobita, hingga sempat berpisah dan bersatu lagi. Kisah kehidupan Nobita mulai dari kecil hingga nanti saat dewasa dipadatkan di sini, tentu saja dengan menggunakan Mesin Waktu. Yang saya suka di sini gambar karakter di Doraemon begitu hidup karena dalam bentuk 3D. Ekspresi yang biasanya hanya ada di komik Jepang tergambarkan dengan jelas di sini, seperti ketika Nobita kaget dengan mulut menganga selebar-lebarnya, atau langsung terjatuh kaku ketika melihat Shizuka sedang bersama Dekisugi, sampai ke ekspresi muka yang malu-malu dengan pipi memerah. Saking lamanya saya ga nonton kartun Jepang dan terpapar kartun Barat, saya sampai lupa begitu ekspresifnya kartun Jepang hingga membuat saya berdecak kagum.

Eniwei, tidak hanya bentuk gambarnya yang keren, saya suka pesan yang dapat diambil dari film ini. Seperti yang sudah diketahui semua orang, Nobita yang pemalas dan dinilai sebagai siswa yang bodoh, juga sering kali dibully oleh Giant dan Suneo. Sering kali dia sangat bergantung pada gadget canggih Doraemon. Namun dibalik itu semua, Nobita adalah seorang anak yang baik, tulus, dan peduli pada orang di sekitarnya. 

Film ini memang pemadatan kisah mulai dari awal pertemuan Nobita dan Doraemon hingga akhirnya berpisah dan bertemu lagi, namun bukan berarti terkesan terburu-buru. Buat yang mau tahu kehidupan Nobita sehari-hari sudah cukup tahu dengan melihat serialnya di televisi. Nah, silver lining dari film ini adalah kita diajari untuk berusaha lebih baik untuk membentuk masa depan yang lebih cerah, mengesampingkan ego pribadi demi kebaikan untuk orang yang kita sayangi, jangan menyerah dan terpuruk ketika tantangan menghadang, dan harus bisa tegar dan mandiri ketika kehilangan orang yang kita sayangi.

Jalinan setiap karakter yang ada di Doraemon ini akan membuatmu tertawa dan menangis terharu dan bahagia. Di tengah jalan ada aja peristiwa yang membuat saya menangis. Saya ingat saya sampai meneteskan air mata dua kali saat menonton film ini, yaitu ketika Nobita mengesampingkan egonya demi Shizuka, dan ketika Doraemon harus berpisah dengan Nobita. Serta, menangis dan tersenyum bahagia di akhir film ini. 
Anyway, for you who spent your childhood always watching Doraemon in the morning, Doraemon Stand By Me is the movie you surely wouldn’t wanna miss! Thank you Mr Fujiko F Fujio for bringing Doraemon into our life :)
My niece, Keysa, is so happy watching Doraemon

My Impulsive Trip: Have A Lil' Bit Touch of Local in Thailand

There are a lot of things you can do when you're in Bangkok and Pattaya. Tidak hanya mengunjungi spot-spot wisata, tetapi coba jugalah kuliner khas setempat dan berbincang dengan masyarakat setempat, walau hanya sesaat. When I'm traveling alone, I'd like to have a little bit touch of local. Walau disini artiannya hanya sekedar bertanya-tanya iseng ke penduduk lokal, maupun menyicip makanan khas di sana.

Mango Sticky Rice
Nah, berbicara soal kuliner khas Thailand yang terkenal pastilah Tom Yam ya... Di Indonesia juga udah sering ditemui. Namun selain mencoba Tom Yam di negara asalnya, jenis makanan lain yang paling dicari para turis saat ke Thailand adalah Mango Sticky Rice. Ketan susu plus mangga. Nyam! Perpaduan ketan susu yang disiram dengan santan, plus disampingnya dikasih mangga somehow it mix very well together. 

Selain itu, Thailand juga terkenal dengan produksi duriannya. Saya sih ga nyobain buah durian monthongnya, tapi saya beli keripik durian dan Durian Sticky Rice kalengan buat oleh-oleh. Dari keripik duriannya aja udah punya keharuman dan rasa yang legit, tapi ini khusus yang harganya di atas 100 baht ya.. Saya beli dua versi keripik durian, tapi maaf lupa mereknya, ada yang seharga 70 baht dan 120 baht per pak. Yang seharga 70 baht tentu saja kurang berasa duriannya dan hambar, tapi kalau keripik durian yang 120 baht itu rasa duriannya nendang banget, serasa lagi makan durian beneran. Harga emang ga bohong ya? Hehehe. 

Beda lagi sama Durian Sticky Rice kalengan yang saya lihat di toko makanan ringan di Asiatique. Saat lagi lihat-lihat harga keripik durian di salah satu rak, mata saya tertumbuk pada sebuah produk dengan gambar durian dan ketan di bagian samping kemasan. Saat itu saya penasaran untuk membelinya, dan akhirnya emang beneran dibeli dengan harga 70 baht :p. Mangga aja ternyata bisa segitu enaknya dipadu sama ketan susu, mungkin durian juga begitu? Itu pikiran yang terlintas di benak saya ketika itu, hehehe. Pas sampai di rumah, Durian Sticky Rice saya taruh di kulkas. Ga ada petunjuk kalau produk itu harus disimpan di kulkas sih, cuma saya pengen aja nanti makan duriannya dingin-dingin. Pas dibuka, ternyata di dalam kemasan ada dua kaleng terdiri dari ketan dan durian. Seharusnya sih kayaknya ketan dan durian dicampur jadi satu gitu yah di piring, tapi waktu itu saya malah langsung icip dari kalengnya, hahaha.
Durian Sticky Rice
Pertama icip duriannya yang berbentuk seperti pasta atau selai bikin mata berkerjap-kerjap keenakan. Heemm…berasa banget duriannya. Dicampur dengan ketan ternyata enak jugaaa….Ternyata ga cuma mangga aja yang enak berpadu dengan ketan, tapi juga durian. And I wonder what if those sticky rice get mix with banana, orange, or other fruits, will it get along together and taste yummy? Perlu eksperimen nih kayaknya, hahaha. 

Oke, let’s stop talking about food. Another way to get the taste of the local is having interaction with the local. Hal menyenangkan dan menegangkan menjadi seorang backpacker yang tidak terikat dengan jadwal tur adalah ketika nyasar. Mungkin kedengarannya aneh, ya? Nyasar bukannya bingung, malah seneng, hahaha. Karena saat nyasar itulah, our survival sense live. Kita jadi sangat memperhatikan arah dan lingkungan sekitar, yang mungkin kalau kita ikut tur, rasa itu akan lewat begitu saja. Saat nyasar mau ga mau harus bertanya, kalau ga mau semakin nyasar ga tentu arah. Dan, saat berinteraksi hal sederhana seperti itulah kita akan tahu sedikit mengenai masyarakat lokal di negara yang kita kunjungi. Mungkin bukan dari mengobrol panjang, tetapi hanya sekedar bertanya arah atau soal suatu produk yang kita beli. Tapi, setidaknya kita bisa mengetahui sedikit bagian dari diri penduduk lokal. Well, saya akui kalau ingin benar-benar merasakan kehidupan orang lokal lebih baik memang tinggal dengan mereka, misalnya melalui jaringan Couchsurfing. Tapi karena saya belum pede menggunakan jasa itu, makanya saya hanya sekedar berinteraksi hal-hal kecil saja dengan warga Thailand.

Oke, lanjut. Overall, saya merasa orang Thailand itu ramah. Pengalaman pertama adalah ketika di bandara dan saya mencari Tourist Information Center. Keluar dari pintu keluar ternyata saya menuju ke arah yang salah, dan saat itu saya bertanya ke petugas keamanan. Sayangnya saat saya berkomunikasi dengan bahasa Inggris, dia tampak sama sekali ngga mengerti. Dia lalu meminta selembar kertas (berisi itinerary saya) yang saya pegang dari tadi. Dia tampak mencari-cari sesuatu, dan saya baru ngeh kalau ternyata dia mencari aksara Thailand di itinerary saya, which he won’t found it. Iya lah, wong itinerary saya ditulis dalam Bahasa Indonesia, hahaha. Ngeliat dia kebingungan saya jadi malah tambah bingung, hahaha. Lalu, pelan-pelan saya menjelaskan kalau saya ingin mencari Tourist Information Center, sambil menggunakan bahasa tubuh, menggunakan bentuk kotak sebagai Tourist Information. I don’t know why I describe it like that, it just happen, hahaha. Terus saya bertanya “Is it that way?,” tanya saya sambil nunjuk ke arah berlawanan. Dan, dia hanya ngangguk-ngangguk aja, masih dengan tampang bingung, hahaha. Okay, that went well, wasn’t it? Ketika komunikasi lisan tak berhasil, gunakanlah bahasa tubuh. Catet!

Pengalaman lainnya adalah ketika sedang kebingungan nyari halte bis di Victory Monument, saya nyari lagi petugas keamanan yang lagi berjaga di sudut tikungan halte BTS. Untunglah mereka mengerti bahasa Inggris dan dengan tersenyum ramah menjelaskan arah halte bis. Tidak semua warga Bangkok mengerti bahasa Inggris dengan baik sepertinya, tapi mereka akan berusaha membantu kok. Sama seperti di Indonesia.

Misalnya saat saya sedang di bis menuju Vimanmek, saya bertanya ke penumpang wanita di sebelah saya apakah Vimanmek sudah dekat. Awalnya dia kelihatan kaget, dan saat saya mengulangi pertanyaan dia mengangguk sedikit. Saat saya bertanya lagi, berapa lama lagi saya harus turun? Dia tersenyum canggung. Akhirnya saya nanya lagi, “5 more minutes? Or ten minutes?”. Dia lalu mengangguk-angguk. Entah jawaban mana yang benar, tapi setidaknya saya tahu sebentar lagi saya akan turun, hehehe.

Pada saat sampai Vimanmek ini juga ada pengalaman lucu. Setelah saya menyimpan sepatu di loker dan menuju ke bangunan utama Vimanmek, setiap pengunjung diharuskan diperiksa dulu oleh petugas. Ini karena pengunjung tidak diperbolehkan membawa barang apapun ke dalam Vimanmek. Nah, saat itu saya berhadapan dengan petugas wanita dan pria. Petugas pria langsung berbicara dalam bahasa Thailand kepada saya, dan saya hanya bisa melongo kebingungan. Melihat tampang saya yang bloon kebingungan, petugas wanita langsung ngomong, “You’re not Thai, aren’t you?”. Saya langsung menggeleng. Mereka berdua pun langsung tertawa, dan saya baru ngeh kenapa mereka tertawa. Ternyata si petugas pria mengira saya adalah warga lokal, jadi langsung ngomong dengan bahasa Thailand, hahaha. Saya pun hanya nyengir-nyengir aja saat si petugas pria minta maaf kepada saya.

Setelah dari Vimanmek, saya berniat menuju Dusit Throne Hall. Saat itu saya berasumsi kalau Dusit Throne Hall adalah bangunan yang besar. Tapi, ketika saya sampai di suatu halaman luas dengan bangunan sederhana di samping kanan, saya tidak menemukan bangunan yang saya bayangkan. Akhirnya saya nanya ke petugas keamanan di sana. Dengan ramah dia menjelaskan kalau bangunan yang saya cari itu ternyata adalah bangunan yang ada di sebelah kanan itu. Setelah berterima kasih, saya lalu beranjak pergi. Tapi, baru dua langkah, petugas tadi memanggil lagi dan langsung ngomong begini, “Miss, you are so beautiful”, sambil nyengir. Whaaatttt??!! I don’t know what to say at that time, I just say ‘Thank You’ to him, smiling, and run away. Hahaha. Iyalah, mana ada orang bilang begitu ketika saya saat itu lagi ngos-ngosan kecapean dan keringetan. The point is, at that time I’m nowhere near what common people describe about beauty.  

Saat sudah berada dalam jarak aman dari si petugas, saya terus kepikiran beberapa kemungkinan kenapa dia ngomong begitu. Pertama, dia sedang berlatih bahasa Inggris dan sedang mengetesnya ke beberapa wisatawan yang datang ke sana. Kebetulan aja saat itu saya yang wanita menghampirinya dan dia menguji salah satu kosakata bahasa Inggrisnya. Kemungkinan kedua adalah dia seorang penggoda dan melakukannya kepada setiap wanita. Kemungkinan ketiga adalah dia benar-benar tulus mengucapkan itu. Nah, karena kemungkinan kedua dan ketiga tampaknya tidak mungkin sama sekali, saya pun lebih cenderung pada kemungkinan pertama. Eniwei, terlepas dari segala alasan di balik kejadian tadi, saat saya pulang ke Indonesia saya membaca sebuah artikel berjudul 8 Types of Girls that Guy would Travel With, dimana salah satu poinnya menyebutkan begini: Men will feel extremely burnt to see a sweaty girls with messy and muddy look than a full touched up lady. Ah ya, baiklah, itu kan menurut penulis artikelnya ya...

Mari lanjut ke pengalaman berikutnya, ketika saya berkesempatan mengunjungi Masjid Ban Oou. Di sinilah saya berkesempatan sedikit berinteraksi dengan muslim Thailand. Ketika saya sedang bersiap mengenakan mukena, ada seorang muslimah yang menghampiri saya, mengajak bersalaman, tersenyum dan mengucapkan salam. Hanya peristiwa kecil, tetapi cukup berkesan untuk saya. Senang rasanya bertemu dengan saudara sesama muslim di 
negara minoritas muslim :).
Ngeborong Tao Kae Noi


Kesempatan lainnya untuk berinteraksi dengan warga lokal adalah ketika kita berbelanja. Sebelumnya saya sudah pernah menceritakan pengalaman berbelanja di Wat Arun di postingan My Impulsive Trip: Bangkok (Day 2), yang mengenai penjaja cinderamatanya pinter Bahasa Indonesia. Mungkin karena turis Indonesia dikenal suka berbelanja, makanya pedagang di Wat Arun sampai bela-belain belajar bahasa Indonesia. Persepsi mengenai turis Indonesia yang suka berbelanja ternyata tak hanya di Bangkok saja, tetapi juga di Pattaya.
   
Ketika saya menghampiri salah satu pedagang cinderamata di sana, dia langsung berhasil menebak kalau saya adalah dari Indonesia. Ketika saya bertanya kok bisa langsung tahu, jawabannya karena banyak turis Indonesia yang datang ke kiosnya, hehehe. Saat berbincang dengan pedagang di Pattaya ini, saya merasa nyaman karena dia begitu ramah. Tidak hanya sekedar transaksi tawar menawar, tetapi juga berbincang mengenai hal kecil dan remeh temeh seperti cuaca di Thailand dan Indonesia hingga berbagai produk cinderamata yang dijajakannya. Dari dia, saya jadi tahu sedikit kalau produk cinderamata seperti magnet kulkas yang dijualnya itu ternyata tidak diproduksi di Pattaya, tapi di daerah lainnya (lupa nama daerahnya) yang warganya khusus membuat cinderamata magnet kulkas.

Di Thailand ini pula saya merasa tidak terlalu asing karena di sanalah salah satu basis suporter Liverpool FC terbesar di Asia Tenggara. Begitu mudah melihat Liver Bird tersebar di berbagai tempat. Tidak hanya di toko sepakbola yang saya sambangi dekat MBK tentu saja, tetapi juga di bagian belakang mobil, truk, sampai di jok motor ojek yang saya tumpangi di Pattaya. LFC is the world’s biggest family football club. No wonder with all of that things, impressions and nuisances that I have in Thailand, it makes me feel Thailand is a home faraway from home.

Wednesday 3 December 2014

My Impulsive Trip: Tempat Makan Halal dan Mushola di Bangkok & Pattaya

Ketika memilih suatu destinasi wisata pasti sebagai seorang muslim akan mengalami kesulitan saat ngebolang ke negara minoritas muslim. Selain susah nyari makanan halal, pastinya nyari tempat solat yang nyaman juga susah. Makanya, saat saya memutuskan ke Thailand, saya nyari juga rekomendasi orang soal tempat solat dan makanan halal. Jadi, dimana saja?

1. Siam Center dan Siam Paragon
Di Mall Siam ini ada food court Food Republic dan juga musola. Sehabis dari Madame Tussaud bolehlah mampir untuk makan dan solat dulu di sini. Sebenernya di Food Republic yang ada di lantai 4 Siam Center ini saya ga melihat gerai yang secara eksplisit menunjukkan logo halal di depan gerainya. Namun, saya bertanya ke petugas di sana, dimana saya bisa menemukan makanan halal? Menurut arahannya, saya bisa nemu makanan halal di gerai yang menjual makanan Melayu-India. Maaf, saya lupa nama tempat makannya. Tapi, yang jelas kalau berkeliling gerai di sana bisa kelihatan kok kedainya dengan jelas, karena tempat makan itu setau saya satu-satunya yang menjual makanan kari. Di gerai itu ada banyak pilihan makanan berbumbu warna kuning. Ada ikan, daging sapi, daging ayam. Sudah lengkap dengan nasi. Saat itu saya memesan yellow rice with tuna seharga 70 baht.
Yellow rice with tuna in Food Republic
Selesai makan di Food Republic, waktu itu saya berombongan sama temen Backpacker Indonesia, Tira dan Lia, langsung ke musola yang ada di Lantai B1 (Basement) South Wing Siam Paragon. Bangunan Siam Center sama Siam Paragon saling terkoneksi, jadi ga usah keluar-masuk mal. Saat nyari musola ini kami sempet nyasar sih ke parkiran basement secara malnya gede banget, hehehe. Tapi, tanya aja petugas yang ada disana, mereka pasti akan membantu. Lokasinya sebenernya agak nyempil. Pokoknya ikutin aja arah ke toilet, musola terletak ga terlalu jauh dari sana. Ruangan musola di Siam cukup nyaman, hanya saja tempat wudhunya cuma ada satu. Jadi harus gantian antara cowo dan cewe. Tempat solatnya juga digabung dan tidak ada tirai pemisah. Kalau ga bawa mukena, di sana juga disediakan. Juga ada Al Quran.

2. MBK
Salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Bangkok ini bisa dibilang jadi 'surga' belanja buat mereka yang shopaholic. Namun, selain itu di sini juga ada fasilitas musolanya, loh... Di food court-nya yang bernama The Fifth Food Avenue juga menyediakan makanan halal. Untuk musola di MBK ada di lantai 6. Letaknya deket pintu ke arah parkiran mobil, di sebelah kiri.

Beda dengan musola di Siam Paragon yang letak solatnya cukup berjarak dengan pintu masuk musola, di MBK ini pintu langsung mengarah ke tempat solat. Pintu masuk wanita dan pria dipisah, tempat solatnya juga dipisah oleh sekat. Begitu juga dengan tempat wudhunya. Jadi ga perlu ngerasa risih, hehehe.

Nah, turun satu lantai dari musola ada The Fifth Food Avenue di lantai 5. Lokasinya ada di sisi berlawanan dari musola. Jalan terus aja, lalu turun satu lantai. The Fifth Food Avenue ada di ujung jalan. Ada petunjuk arahnya juga kok kalau mau kesana. Nah, di foodcourt ini ada 3 tempat makanan halal, yaitu menu masakan Indonesia di Jimbaran Bali (ada Nasi Bali dan Nasi Goreng di sini), menu Timur Tengah di Ali’s Arabic Cuisine (e.g: kebab) dan menu Thailand di Thai Muslim (e.g: Tom Yam).
Tom Yam and Thai Ice Tea :d
Harganya ukuran mal, diatas Rp 30 ribu. Waktu itu saya beli Tom Yam kalo ga salah 120 baht (Rp 44 ribuan). Untungnya waktu itu ada promo gratis Thai Ice Tea untuk wisatawan asing. Jadi bisa ngirit, hahahaha. Alhamdulillah banget emang karena pas lagi celingak-celinguk ga jelas di deket eskalator lantai 1, saya ngeliat ada banner yang ngasih tau ada gratis Ice Tea untuk wisatawan. Syaratnya cuma ngasih liat paspor. Fiuh, untunglah paspor selalu dibawa :). Petugas Fifth Food Avenue di Drink Bar Station cuma minta nomor paspor, asal negara, sama nama lengkap aja, setelah itu dapet deh satu gelas Ice Tea. Sayang, ga bisa refill, hahahaha.

3. Ban Oou Mosque
Mesjid ini letaknya strategis banget karena dekat dengan BTS Saphan Taksin dan Central Pier. Kalau naik BTS keluar aja di Exit 3, terus jalan kaki ke jalan besar yang ada disana. Begitu juga kalau dari Central Pier. Saat turun dari kapal, tinggal jalan kaki ke arah jalan utama. Di sebelah kiri, kamu akan menemukan deretan toko dan pedagang kaki lima. Nah, susuri aja trotoar di sana sekitar 200 meter sampai Robinson Department Store, terus belok kiri ke Soi Charoen Krung 46 (gang kecil pas di sebelah Robinson).

Waktu saya sampai di sana, jalanannya gelap karena udah sekitar jam 8-an. Agak ngeri dan takut nyasar sebenernya karena ngerasa belum nemu masjid yang dimaksud. Sampai akhirnya ngeliat ada bangunan di sebelah kiri yang kelihatan seperti masjid (ngeliat dari deretan rak sepatu dan bangku-bangku panjang didalamnya). Ga keliatan atapnya bentuk kubah (seperti umumnya masjid) atau ga, karena ga terlalu merhatiin. Saya pun memutuskan untuk masuk dan ternyata bener itulah Ban Oou Mosque.
Teras masjid. Gambar nge-blur karena masjid udah mau dikunci
Masjidnya mulai agak sepi, mungkin karena sudah malam. Yang jemaah salat Isya juga udah pada selesai. Tempat wudhunya udah jelas pasti dipisah. Di dalam masjid ruang solat pria dan wanita dipisah dengan tirai. Untuk ruang solat wanita hanya sepertiga ruangan dari luas masjid, kira-kira muat untuk sekitar 12-15 jamaah. Yang berbeda dengan tempat solat sebelumnya yang saya sambangi, disini saya bisa mendengar sayup-sayup orang membaca Al Quran walau bangunan masjid sangat sederhana. Tenang rasanya.

Ohya yang patut diperhatikan juga sepertinya masjid ini tidak selalu dibuka sampai larut malam. Buktinya pas saya sedang solat Isya tetiba lampu-lampu masjid mulai dimatiin satu per satu, padahal itu masih jam 8. Waakkkksss... Solat rakaat terakhir mulai ga konsen karena takut dikunciin di dalem, heuheu. Namun, entah akhirnya penjaga masjid ngeh saya masih di dalam atau karena alasan lain, dia nunggu di depan pintu masuk ruang solat. Pas udah selesai solat saya langsung keluar dan nyengir ke penjaga masjid, hehehe. Pas saya lagi pake sepatu di luar ternyata bener ruangan masjid langsung dikunci, pfiuh.

4. Central Festival Pattaya
Sebelumnya saya udah sempet browsing soal masjid dan makanan halal di Pattaya. Sebagian besar merekomendasikan tempat yang ada di South Pattaya Road. Untuk ke sana bisa naik songthaew, ojek, atau taksi. Tapi karena waktu saya terbatas di Pattaya dan setelah dari Mini Siam hanya ingin menyusuri pantai lalu balik ke terminal, maka saya memutuskan untuk ga ke daerah South Pattaya Road yang terletak berlawanan dengan terminal bis yang ada di North Pattaya Road.

Sempet bingung mau nyari tempat solat dimana di sekitaran pantai Pattaya. Untung nemu brosur Central Festival di Mini Siam. Saat saya ngeliat tersedia fasilitas musola, saya pun langsung meluncur ke sana. Saya ga memperhatikan apakah di sana ada restoran yang menyajikan makanan halal, secara uang udah menipis. Lagipula masih ada bekal roti dari Jakarta, masa iya rotinya dibawa balik lagi :p.
Bagian depan prayer room
Musola di Central Festival Pattaya ada di lantai 5, deket parkiran mobil. Pintu ke arah musola ada di antara Zen Restaurant dan Little Home Bakery. Bisa juga naik lift di sebelah Esprit lantai 1, keluar dari lift di lantai 5, pintu ke arah musola ada di sebelah kanan. Setelah keluar pintu yang ke arah parkiran, tengoklah ke kanan. Di sanalah kamu akan menemukan musola. Agak nyempil dan gelap. Tapi gambar di pintunya menandakan kalau itu adalah prayer room.

Awalnya saya ragu musolanya dikunci karena keliatan gelap. Tapi setelah saya dorong pintunya bisa dibuka. Alhamdulillah. Ternyata lampu di prayer room memang harus dimatikan kalau tidak ada yang menggunakan. Di bagian dalam pintu musola ada pengumumannya. Setelah saya masuk dan menyalakan lampu, pendingin ruangan langsung berhembus. Sepatu bisa ditempatkan di rak sepatu yang sudah disediakan di dekat tempat wudhu.
Bagian dalam prayer room
Di antara prayer room mall yang saya sambangi sebelumnya, saya paling suka di sini. Mungkin karena saya sendirian di dalam, jadi bebas mau ngapain aja, mau guling-gulingan, bolak-balik, terseraahhh...hehehe. Sebagaimana musola lainnya yang saya temui, di sini juga disediakan mukena, sarung, Al Quran sampai tasbih. Semuanya tersusun rapi di rak.

Eniwei, dalam perjalanan ini saya jadi melihat betapa pemerintah Thailand begitu menyiapkan diri dalam menyambut wisatawan muslim. Walau prayer room seadanya tapi kemudahan akses itulah yang menarik minat saya sebagai seorang muslim untuk berkunjung ke Thailand. I'd heard about their services for muslim tourists before, and I want to see it myself. In the end, I'm pretty satisfied with it. :)