Saturday 26 July 2014

My Impulsive Trip: Bangkok (Day 2)



Hari kedua di Bangkok dimulai dengan tur ke Madame Tussaud (museum patung lilin). Museum ini terletak di dalam mal, tepatnya di Siam Discovery Center, Lantai 6. Berhubung si Tussaud baru buka jam 10.00, saya leha-leha sarapan dulu di hostel dan baru cabs jam 09.00. Seperti hari sebelumnya, dari hostel saya menuju MRT Queen Sirikit, transit di interchange Asok, dan naik BTS ke Siam Station.

Dari Siam Station ini tinggal jalan kaki aja ke Siam Discovery. Ngga mungkin nyasar karena mal-nya sebelahan sama stasiun BTS. Cuma yang perlu diperhatikan di Siam ini ada dua mal, yaitu Siam Discovery dan Siam Paragon. Jika kamu masuk dari Siam Paragon pun ga usah kuatir akan nyasar karena ada jembatan penghubung ke Siam Discovery, tinggal liatin aja petunjuk jalan yang ada di dalam mal. Kebetulan waktu itu saya lewat luar mal, ngikutin rombongan anak-anak sekolah, hehehe. Ngga tau kenapa feeling saya waktu itu bilang kalo rombongan anak-anak itu juga akan menuju Madame Tussaud. Dan, ternyata benar, hehehe. Rombongan itu berhenti tepat di depan Siam Discovery, sedangkan saya terus lanjut naik ke lantai 6.

Di Madame Tussaud ini saya janjian ketemu sama Tira dan Lia, teman yang saya temui di Backpacker Indonesia (BPI). Sempet kuatir ngga akan ketemu sama mereka. Ngga nyangka akhirnya ketemu di depan pintu masuk Madame Tussaud, saat mereka lagi poto-poto narsis sama Tom Cruise. Dan, saya ngga mau kalah juga dooonggg, hahaha. Ngga nyampe 5 menit pose-pose gaya sama si Om Tom, kita pun segera ke konter tiket. Berhubung udah beli tiket secara online, kita tinggal nyebutin kode booking aja ke petugas tiket dan ngasih liat kartu kredit yang dipakai untuk transaksi. Setelah oke, petugas tiket ngasih voucher diskon foto ke kita. Jadi di dalam nanti akan ada beberapa petugas yang stand by di patung-patung tertentu (contoh: patung Obama dan Wolverine) dengan kamera. Nah, jika kita mau souvenir khusus foto Madame Tussaud tinggal kasih ke si petugas foto di dalam, nanti kita akan dapat potongan diskon 15 %, kalo ga salah. Yah, kalo saya sih udah niat ga akan pake vouchernya, jadi aja itu voucher masuk ke kantong terdalam, hehehe.
Sama Presiden Soekarno
Memasuki Madame Tussaud di bagian depan, kita akan disambut oleh patung wanita Thailand lengkap dengan baju tradisionalnya. Lanjut lagi, ada patung presiden Indonesia, Ir Soekarno. Bangga rasanya ngeliat ada tokoh dari Indonesia dijadiin patung lilin di Madame Tussaud :). Setelah itu, masuk ke area yang lebih luas, ada Lady Di, Mahatma Gandhi, Obama, Aung San Suu Kyi, Queen Elizabeth, dan beberapa tokoh Thailand. Di area ini saya tersadar kalo wisatawan di dalam sana sebagian besar berasal dari Indonesia. Dari mana saya tau? Gimana ngga? Mereka pada ngomong bahasa Indonesia! “Hey, fotoin gue disini, dong”. “Eh, tunggu gw mau foto disini”, dst. Hahaha. Berasa lagi ada di Jakarta, bukan di Bangkok.

Di area itu kami hanya berhasil foto-foto sama Obama, Lady Di, Aung San Suu Kyi. Pengen foto sama Queen Elizabeth, tapi pas liat ada banyak orang yang antri foto juga, akhirnya kami memutuskan untuk lanjut ke area berikutnya dan berniat akan kembali lagi ke area itu nantinya. Di area selanjutnya adalah area pelukis dan penemu di masa lampau. Ada Pablo Picasso dan Albert Einstein. Ga jauh dari Einstein, ada Luciano Pavarotti. Di sini pose dulu ala pemain piano/pemusik opera, lengkap dengan satu set piano, top hat, dan jubah ala penyanyi opera. Madame Tussaud memang menyediakan pula beberapa properti untuk dipakai pengunjung bergaya bersama si patung lilin. Lumayan lah ya…hehehe.
Pose dulu sama Gerrard :D. Tak pedulikan Rooney yang lagi nyengir :P
Lanjut dari sana, adalah area olahraga. Daaan…disinilah saya menemukan patung yang sudah saya tunggu-tunggu dan incar sejak sebelum saya masuk ke Madame Tussaud. Siapa lagi kalo bukan, Steven Gerrard! Hahaha. Patung lilin Gerrard memang layak ada di Madame Tussaud Bangkok. Kenapa? Karena Thailand dikenal sebagai salah satu basis fans Liverpool FC terbesar di Asia Tenggara, selain Indonesia. Mata saya langsung berbinar-binar ngeliat patung Gerrard di depan mata. Oh, how I wish I could stand right in front of the real him! Seperti di patung-patung sebelumnya, saya minta tolong ambilin foto dengan ponsel sama Lia/Tira. Ngga cukup di ponsel aja, dengan bermodal tripod, saya pun berpose lagi sama si Gerrard. Wayne Rooney yang ada di sebelah Gerrard pun tak saya pedulikan, hahaha. Saya baru selesai berpose-pose ria, setelah ngeliat Tira dan Lia udah ngeloyor pergi ke area selanjutnya. Buru-buru deh tuh ngangkut tripod. Eeehhh, tapi berhenti dulu saat ngeliat David Beckham lagi push up di atas bangku, terus pose manis di sampingnya, hahaha. Setelah patung lilin para pesepakbola, ternyata di sana ada juga patung atlet olahraga lainnya, seperti Muhammad Ali sampai Yao Ming.

Di area berikutnya adalah kategori superhero dan tokoh animasi. Di sini kita dapat menemukan Spiderman, Wolverine, Doraemon dan Hello Kitty. Di area terakhir ada deretan para selebriti Hollywood dan penyanyi internasional. Ada Oprah Winfrey, Naomi Campbell, George Clooney, Nicolas Cage, Will Smith, Brangelina, Justin Bieber, Adele, Johnny Depp, Michael Jackson, Madonna, Beyonce, Katy Perry, Nicole Kidman, Julia Roberts, Jackie Chan. Di sini juga ada deretan patung Oscar sebagai properti. Saat kita di area ini wisatawan semakin ramai karena ada rombongan anak sekolah yang tadi saya ikuti. Setelah melihat kondisi yang semakin ramai itu, kami pun bergegas kembali ke area depan. Kan, kita belum foto sama Queen Elizabeth, bo. #penting :p
Royal Families Wanna-Be
Akhirnya, kami berlarian balik ke sana karena waktu sudah menunjukkan hampir jam 12. Kami memang hanya menetapkan batas waktu di Madame Tussaud hanya sampai jam 12 siang saja, karena selanjutnya kami masih mau ke Grand Palace. Ngga berasa emang kita di dalam udah hampir dua jam, padahal cuma foto-foto sama patung doang ya? Hehehe. Sesudah puas pose dengan si ratu, kami balik lagi ke area terakhir di Madame Tussaud, menuju pintu keluar dekat area selebriti Hollywood. Pintu masuk-keluar di museum ini memang sudah diatur sedemikian rupa, sehingga pengunjung sudah terarahkan untuk dapat melihat seluruh koleksi patung. Di arah pintu keluar ini pengunjung akan menemukan sejarah singkat Madame Tussaud dan toko souvenir. Kami pun hanya melihat sekilas souvenir yang dijual. Standar souvenir aja sih yang dijual di sana, kayak gantungan kunci, tumbler, notes, dll. Kita juga bisa mencetak tangan kita dengan lilin sebagai souvenir, tapi berhubung kami tak tertarik, jadi ya ga liat-liat juga.

Keluar dari Madame Tussaud, kami memutuskan untuk nyari makan siang dulu. Sempet bingung nyari tempat makanan halal di Siam Discovery, akhirnya kami memutuskan ke food court-nya, Food Republic. Di food court ini sistemnya kita deposit uang dulu minimal 100 baht di kasir, lalu akan dikasih kartu berisi jumlah uang deposit, yang nanti akan didebet saat pesan dan bayar makanan di counter. Sembari Tira antri di kasir, saya nanya ke petugas kasir, apa ada counter makanan halal di sana? Si mbak petugas sempet bingung dan nanya ke temennya, akhirnya kami diarahkan untuk ke counter makanan Melayu-India. Saya lupa nama counternya, tapi yang jelas menu di sana didominasi oleh kari. Saya memilih yellow rice with tuna seharga 70 baht, sedangkan Lia dan Tira memilih yellow rice with chicken seharga 60 baht.

Selesai makan, kami menuju Siam Paragon. Berdasar info yang saya catat sebelumnya, di sana ada prayer room yang berlokasi di Lantai B1 (Basement), South Wing. Sempet nyasar awalnya sampai ke parkiran basement, tapi setelah nanya ke petugas, akhirnya nemu juga prayer room yang dimaksud. Setelah selesai shalat, kami segera keluar mal dan antri taksi. Kami memutuskan untuk share cost taksi karena waktu sudah menunjukkan lewat dari pukul 13.00 WIB. Alhamdulillah dapet taksi yang pake argometer dan supir yang ramah. Perjalanan ke Grand Palace ga sampai 30 menit. Setelah sampai kami segera masuk ke dalam dan antri tiket.
Saat masuk ke area dalam Grand Palace sudah banyak sekali wisatawan di sana, padahal matahari sedang terik. Saya pun mengeluarkan payung untuk melindungi diri dari sinar matahari. Saat memasuki area dalam, banyak sekali relik menarik. Ada beberapa relik yang sudah saya lihat miniaturnya di Ananta Samakhom. Selain stupa, di dalam sana juga ada kuil. Untuk memasuki kuil ini pengunjung harus melepas alas kaki, tidak boleh berfoto dan berisik. Grand Palace adalah area yang sangat luas, kami pun tidak sempat menjelajahi semuanya. Selain karena areanya luas, cuacanya juga sedang panas-panasnya. Beberapa kali kami berhenti beristirahat sembari antri isi ulang air botol minum. Ya, pengelola Grand Palace memang menyediakan beberapa titik tempat isi ulang air minum. Lumayan ga perlu beli air. Sebelumnya, kami memang sudah siap sedia botol minum dari rumah sehingga bisa irit, hehehe.

Setelah kurang lebih dua jam di sana, kami memutuskan untuk segera cabs dan menuju Wat Arun. Wat Pho, yang ada di sisi berlainan dari Grand Palace, kami lewatkan karena hari sudah hampir sore. Saat keluar dari Grand Palace (gerbang masuk = gerbang keluar), kami sempat berdiskusi apakah mau naik taksi atau jalan kaki untuk menuju pasar Tha Tien (disana ada dermaga untuk menyebrangi sungai Chao Phraya menuju Wat Arun). Jarak dari pintu masuk/keluar Grand Palace dengan pasar Tha Tien hampir 1 kilometer. Karena tidak mau bercapek-capek ria, akhirnya kami memutuskan naik taksi. Nemu sopir taksi yang menawarkan mengantarkan ke Tha Tien hanya dengan 40 baht. Karena kami bertiga dan share cost, ya kita ngerasa tarif itu udah best deal lah, ya, daripada jalan kaki 1 kilo, hehehe. #manja
Wat Arun
Saat sampai di Tha Tien, si supir taksi tetiba ngomong kalau Wat Arun udah tutup dan menawarkan kami untuk mengalihkan tujuan wisata ke toko-toko emas (si supir ngeliatin deretan gambar toko-toko di kertas yang dia bawa). Padahal, saat itu baru sekitar jam 4 sore dan menurut info Wat Arun tutup jam 5-an. Damn! Saat itu juga kami mulai sadar kalo kami kena scam. Sebelumnya emang udah banyak yang cerita di internet, hati-hati bagi wisatawan yang berada di sekitar Grand Palace. Banyak wisatawan yang kena scam macam begitu. Ada sekelompok oknum yang menunggu para wisatawan di bagian luar Grand Palace, bilang kalau Grand Palace/Wat Pho/Wat Arun sudah tutup dan mending ikut mereka liat-liat toko emas dekat sana. Mereka akan menawarkan tarif transportasi taksi atau tuktuk yang sangat murah, tapi ujung-ujungnya kita akan dibawa ke toko-toko itu. Sebagai imbalan bagi para supir itu adalah uang bensin dari para pemilik toko. Memang katanya saat diajak ke toko itu, kita ga diminta beli, tapi ada juga yang sampe dipaksa beli. Males aja kan diajak ke toko-toko begituan, padahal ga niat beli. Lagian jadi buang-buang waktu juga. Setelah kami sadar kalo terkena jebakan scam, akhirnya kami bilang ke si supir, “Ya sudah kami turun di sini aja”. Si supir tetep keukeuh kalo Wat Arun tutup, tapi kami juga tetep keukeuh mau turun. Tanpa ba, bi, bu, saya langsung kasih uang pas 40 baht, turun dari taksi, dan kami ngeloyor pergi. Selamat-lah kami dari jebakan scam.

Untuk menuju Wat Arun, pengunjung memang harus memasuki sebuah pasar kecil untuk menuju dermaga Tha Tien (tempat penyebrangan khusus ke Wat Arun). Di ujung pasar ada kios tiket kecil. Per orang membayar 3 baht saja untuk penyebrangan bolak-balik Wat Arun-Tha Tien. Dari Tha Tien, kami sudah bisa melihat Wat Arun dari kejauhan. Sesampainya di dermaga, sudah ada perahu besar yang menunggu. Dan, kami pun menyebrang bersama para wisatawan lainnya.
Menyebrangi Chao Phraya menuju Wat Arun (kuil di belakang kanan)
Sempet sedikit deg-degan ketika menyebrangi sungai Chao Phraya yang lebar dan keliatan dalem itu. Di sini saya baru melihat dan merasakan betapa vitalnya sungai ini bagi masyarakat Bangkok. Selain MRT dan BTS, salah satu transportasi umum andalan masyarakat Bangkok adalah perahu yang mengarungi sungai Chao Phraya yang bebas sampah (airnya sih tetep butek, tapi bersih ga ada sampah). Di sepanjang Chao Phraya ini ada puluhan dermaga yang menjadi tempat pemberhentian perahu. Melihat kondisi Chao Phraya itu, saya jadi berandai-andai. Andai saja sungai Ciliwung bisa bersih dan bebas sampah seperti Chao Phraya ini, maka waterway yang dulu menjadi program Pemprov DKI Jakarta bisa terlaksana dan tidak mandek seperti sekarang.
Steep Stairs

Eniwei, waktu tempuh Tha Tien-Wat Arun sekitar 5 menit saja. Sesampainya di dermaga Wat Arun kami menuju loket tiket yang ada di bagian tengah. Kami agak bingung awalnya karena tidak ada loket tiket masuk Wat Arun di dekat dermaga, karena itu kami pun langsung menuju bagian tengah area. Ternyata, loket tiketnya agak nyempil di bagian tengah. Tiket masuk Wat Arun seharga 50 baht. Dari info yang saya peroleh sebelumnya, tiket Wat Arun seharga 100 baht, entah kenapa saat itu hanya 50 baht, hehehe Alhamdulillah. Mungkin karena sudah sore. Saat kami masuk ke dalam, Wat Arun tampak biasa saja sebenarnya. Namun, yang membuatnya menantang adalah tangga untuk naik ke atas yang sangat curam. Selain jarak antara anak tangga yang satu dengan lainnya sangat tinggi, lebar tangga juga sangat kecil, mungkin hanya sekitar 20-25 cm. Wat Arun terdiri dari tiga layer (kalo ga salah), tapi saya hanya berani sampai di layer kedua, hehehe. Ga sanggup sampe ke atas.

Setelah selesai ngeliat-ngeliat pemandangan dan foto-foto,kami pun segera cabut dan menuju pintu keluar yang ada di sisi bersebrangan dengan pintu masuk. Tak disangka pas di pintu keluar itu ada jejeran kios pedagang kaos dan suvenir yang telah menunggu.Harganya pun cukup murah (menurut saya). 1 lusin kaus dihargai 1000 baht. Dibanding harga kaus yang pernah saya lihat sekilas di MBK kemarin seharga 100 baht 1 kaus, kaus di Wat Arun lebih murah. Akhirnya saya, Lia, dan Tira patungan membeli 1 lusin kaus, masing-masing 4 kaus.

Oh ya, yang menarik dari kios di Wat Arun adalah para pedagangnya yang bisa sedikit bahasa Indonesia. Saat kita keluar dari Wat Arun dan menuju toko suvenir di sana, pasti akan segera terdengar sambutan para pedagang di sana, “Ayo ibu, kaus murah, kaus murah, 1000 baht 1 lusin”. Berasa lagi ada di Tenabang, bukan di Bangkok, hahaha. Awalnya kaget, tapi terus mafhum setelah melihat banyak orang Indonesia yang lagi belanja di sana juga. Dan, saya baru sadar kalau para pedagang itu juga menuliskan harga kaus dalam bahasa Indonesia. Jadi bukan tulisan “1000 baht for 1 dozen” yang akan kita temui di sana, tapi “1 lusin = 1000 baht” atau “1 buah = 100 baht”. Sayang saya lupa memfotonya karena sibuk milih kaus, hehehe. Sepertinya banyak wisatawan Indonesia yang berkunjung ke Wat Arun dan berbelanja, sehingga para pedagang di sana pun menyempatkan untuk belajar bahasa Indonesia. Saat Lia iseng bertanya ke salah satu pedagang di sana, “Mbak (manggilnya pun mbak, hahaha) bisa bahasa Indonesia ya?,”. “Iya, sedikit-sedikit.” Lumayan banget loh pedagang di sana bisa bahasa Indonesia, kita pun jadi terbantu banget. Contoh: waktu saya dan Lia ingin beli kaus anak-anak. Si pedagang bisa nanya,”Umurnya berapa?”, atau komen “Yang ini pas untuk usia anak 5 tahun”, atau ngomong “Yang gambar itu cuma ada ukuran yang ini, ini dan ini”. Kita juga jadi bisa nanya, “Ada yang lebih kecil/besar?”, dst. Beneran deh berasa kayak di pasar di Jakarta aja gitu, hahaha. Selain kaus, saya membeli magnet kulkas dan pajangan kuningan di sana.
Dermaga Wat Arun
Selesai berbelanja, kami kembali ke dermaga, menunggu jemputan kapal untuk menuju Tha Tien Pier. Dari Wat Arun, kami berencana menuju MBK untuk berbelanja oleh-oleh lainnya. Ada beberapa pilihan transportasi antara perahu, tuktuk atau taksi. Sempat terpikir naik perahu dari Tha Tien sampai Central Pier, terus nyambung naik BTS dari Saphan Taksin Station (dekat Central Pier) untuk ke National Stadium Station (deket MBK). Pertimbangan kami adalah karena hari itu sudah sore dan jalanan pasti akan macet karena berbarengan dengan jam pulang kantor. Namun, karena pilihan transportasi itu dinilai akan memakan waktu lebih lama, akhirnya kami memutuskan naik tuktuk. Alasannya, supir tuktuk biasanya melewati jalan-jalan alternatif dan jalan kecil, sehingga kami bisa lebih cepat sampai ke MBK daripada naik taksi. Tarif tuktuk dari Tha Tien ke MBK sebesar 100 baht.

Sesampainya di MBK, kami segera mencari incaran oleh-oleh, diantaranya gantungan kunci, kripik duren, tas, dan beberapa pajangan. Saat waktu makan malam tiba, kami pun menuju The Fifth Food Avenue di lantai 5, foodcourt yang punya 3 tempat makanan halal, yaitu menu masakan Indonesia di Jimbaran Bali, menu Timur Tengah di Ali’s Arabic Cuisine dan menu Thailand di Thai Muslim by Sultana. Selesai makan, kami kembali berburu oleh-oleh sampai MBK hampir tutup, sekitar pukul 21.00-22.00. Dari MBK kami memutuskan untuk naik taksi ke hotel tempat Tira dan Lia menginap di sekitar Pratunam. Saya memang punya rencana untuk melihat-lihat pasar Pratunam, yang kabarnya barang-barang disana juga murah. Dengan barang belanjaan yang segambreng, kami pun langsung naik taksi, tanpa bertanya-tanya soal argometer. Dan, bener aja, kita ‘diperas’ sama si supir taksi dengan harus membayar 400 baht dari MBK ke Pratunam. What the hell?! Sempet nawar-nawar sama si supir, tapi dia teteup keukeuh, akhirnya terpaksa bayar 400 baht.

Sesampainya di kamar hotel, menaruh barang, dan leyeh-leyeh sebentar, kami bertiga segera cabs ke Pratunam. Jam sudah menunjukkan pukul 23.00. Sempet mikir apa pedagang di Pratunam masih pada jualan? Tapi pas sampe sana ternyata kiosnya udah tutup semua, hahaha. Kemaleman, kita. Berhubung saat itu juga sudah hampir tengah malam, akhirnya saya pun menginap di hotel Tira dan Lia malam itu dan memutuskan balik ke hostel di pagi hari sebelum pergi ke Pattaya esok hari.

Total Pengeluaran Hari 2 -> 3.685 baht 
Transport ke Siam : 43 baht
Tiket Madame Tussaud (online booking) : 480 baht
Makan siang : 70 baht
Share cost taxi Siam - Grand Palace : +/- 30 baht
Tiket Grand Palace : 500 baht
Share Cost Taxi Grand Palace - Tha Tien : +/- 13 baht
Nyebrang ke Wat Arun : 3 baht
Tiket Wat Arun : 50 baht
Belanja di Wat Arun : 830 baht
Share cost Tuktuk Tha Tien - MBK : +/- 33 baht
Belanja + Makan di MBK : +/- 1500 baht
Share Cost Taxi MBK - Pratunam : +/- 133 baht

Tuesday 22 July 2014

Death In Gaza: A Review

Peristiwa yang terjadi di Gaza pada Ramadhan tahun ini pastilah mengusik rasa kemanusiaan umat manusia di seluruh dunia (kecuali tentara, pemerintah Israel dan antek-anteknya, sepertinya). Sudah lebih dari 500 warga Gaza, Palestina yang meninggal dunia akibat serangan bertubi-tubi pihak Israel, pada saat tulisan ini dibuat. Di bulan penuh berkah bagi umat muslim ini, warga Gaza memang mendapat cobaan luar biasa.

Saat melihat berita awal minggu lalu di televisi, saya pun seolah tak mau percaya atas serangan yang terjadi di sana. But it happen. Ajang Piala Dunia yang selalu saya ikuti perkembangannya sejak bulan lalu pun menjadi hambar. Walaupun saya tetap menonton final Piala Dunia, euforia itu menjadi berbeda. Melihat apa yang terjadi di Gaza, Palestina saat ini pun sontak membuat memori saya pulang ke masa 8 tahun lalu. Saat saya berkesempatan menonton sebuah film dokumenter berjudul Death In Gaza di ajang Jakarta International Film Festival (Jiffest) bersama dengan adik saya, Venny, di Djakarta Theater.

Death In Gaza adalah sebuah film dokumenter yang disutradarai oleh James Miller dengan reporter Saira Shah, warga negara Inggris. Film ini mengupas kehidupan warga Gaza, namun dari sudut pandang anak-anak. Bagaimana suatu kelompok bisa sangat saling membenci sampai ingin membunuh pihak lainnya dan siap mati, karena itu mereka merekam dari sudut pandang generasi selanjutnya, yaitu anak-anak, who will make either peace or war in the future.

Dari preview yang diberikan panitia Jiffest, kami sudah mengetahui bahwa Miller meninggal tertembak saat sedang merekam film ini. Ngga heran makanya antrian penonton ketika itu sangat panjang. Sampai saya dan Venny pun memutuskan untuk keluar dari studio film sebelumnya lebih awal demi dapat tempat duduk untuk Death In Gaza. PS: Sebelum Death In Gaza ada pemutaran dokumenter Mozartballs (about Mozart die hard fans).

Di awal film Death In Gaza, penonton akan disajikan latar belakang dari pembuatan dokumenter ini. "In early 2003 James Miller and Saira Shah went to Gaza Strip to make a documentary about what it’s like to grow up in a conflict zone". Di awalnya memang sudah membuat orang penasaran untuk terus mantengin film dokumenter ini. Namun yang membuatnya benar-benar menarik perhatian penonton adalah voice over yang disampaikan oleh Saira Shah saat menceritakan sekelumit mengenai kontribusi Miller dalam film ini, lalu Shah mengatakan kalimat ini: "Everything about you see, you see through his (Miller's) eyes". Miller memang juga menjadi cameraman dalam film ini. Secara tak langsung, penonton memang melihat film ini dari sudut pandang Miller. Di bagian awal saja film dokumenter ini sudah mampu menguras emosi saya.

Saya pun sempat menulis review Death In Gaza dalam jurnal saya. Ini yang saya tulis ketika itu (forgive me if you found bad grammar) :
Death In Gaza is a documentary film about Palestinian kids, directed and filmed by James Miller. It tells about the life of Palestinian kids during the war with Israel. From that movie, I became aware of how cruel Israel is. Taking Palestinian land with force. Palestinian kids get furious with Israel too. From young age, they already have hatred for Israel. I know that it's like a must for them because they've trapped in a situation like that. I feel sorry for them because they have to face such condition. They want to be a mujahid just like the older people who fought.
Death In Gaza tells about the life of three Palestinian kids. A girl named Najla (about 15-16 years old), and Ahmed and Mohammed (8-9 years old). Ahmed and Mohammed were just like brothers. Ahmed wants to be what Mohammed wants to be and vice versa. "I want to do whatever Ahmed does. I want to be nice to all of the world, apart from our enemies, the Jews", Mohammed said. They want to be mujahid, while Najla wants to be a lawyer, to keep justice on earth.
Climax of the movie happened when Miller went to Najla's house to take a shoot of Israel tanks destroy Palestinian's building at night. There's also sound of shotgun. Seems like there's another little conflict out there. When the gunshot stop, Miller, Shah, and another person (I forgot who that is) went outside to check the situation because they want to go back to the hotel. Miller brings a white flag and scream: "Hello can you hear us? We are British journalists." Just a few meters they walk out from Najla's house, there's a gunshot explode. Local cameraman, who stayed in Najla's house, recorded the event when Miller went outside. The first gunfire seems like they're okay. But, the second shot had through Miller's neck and he died instantly. When it happen, all of the viewers were shocked. Shah in voice over said (more or less): "The second shot make Miller died instantly, right on his neck". Oh my God! I'm so furious! They already scream and waving white flag! How is that not enough? Miller's work actually hasn't finished yet. After shooting the life of Palestinian kids, actually he wants to shoot the life of Israeli kids, so that he could get cover both side. Unfortunately, the filming have come to an end because of Miller's death.

Review di dalam jurnal saya cukupkan sampai disitu karena saya ingin kalian menonton sendiri film ini. Sudah ada beberapa yang memposting Death In Gaza di YouTube. Dari film dokumenter ini pun terlihat bagaimana sesungguhnya para orangtua di Gaza punya harapan dan memiliki keinginan yang terbaik untuk anaknya, sama seperti orang tua lainnya di seluruh dunia. Dan juga, bagaimana cita-cita Ahmed dan Mohammed berubah setelah kematian Miller, yang dalam pandangan saya tak kalah mulianya dengan menjadi mujahid.

Saat pembuatan film ini belum diketahui secara pasti siapa yang bertanggung jawab atas penembakan Miller. Namun, belakangan diketahui bahwa Miller ditembak oleh tentara Israel, bernama Kapten Hib al-Heib. Perjalanan keluarga Miller dalam mencari keadilan terangkum dalam Wikipedia James Miller. Hanya saja saya tak setuju dengan kesepakatan akhir yang tercapai antara pemerintah Inggris, Israel dan keluarga Miller, dimana al-Heib tetap bebas tanpa mendapat hukuman berat.

Apa yang terjadi di Gaza dalam puluhan tahun terakhir sudah merupakan bentuk penjajahan dan genosida. Saya hanya bisa berharap dan terus berdoa agar tercipta kedamaian antara Palestina dan Israel. Semoga Allah memberikan keteguhan dan kesabaran bagi warga Gaza, Palestina. My prayers goes out to you, brothers and sisters. As what Michael Heart sang in his song: We Will Not Go Down In Gaza Tonight!

You'll Never Walk Alone.