Mango Sticky Rice |
Selain itu, Thailand juga terkenal dengan produksi duriannya. Saya sih ga nyobain buah durian monthongnya, tapi saya beli keripik durian dan Durian Sticky Rice kalengan buat oleh-oleh. Dari keripik duriannya aja udah punya keharuman dan rasa yang legit, tapi ini khusus yang harganya di atas 100 baht ya.. Saya beli dua versi keripik durian, tapi maaf lupa mereknya, ada yang seharga 70 baht dan 120 baht per pak. Yang seharga 70 baht tentu saja kurang berasa duriannya dan hambar, tapi kalau keripik durian yang 120 baht itu rasa duriannya nendang banget, serasa lagi makan durian beneran. Harga emang ga bohong ya? Hehehe.
Beda lagi sama Durian Sticky Rice kalengan yang saya lihat di toko makanan ringan di Asiatique. Saat lagi lihat-lihat harga keripik durian di salah satu rak, mata saya tertumbuk pada sebuah produk dengan gambar durian dan ketan di bagian samping kemasan. Saat itu saya penasaran untuk membelinya, dan akhirnya emang beneran dibeli dengan harga 70 baht :p. Mangga aja ternyata bisa segitu enaknya dipadu sama ketan susu, mungkin durian juga begitu? Itu pikiran yang terlintas di benak saya ketika itu, hehehe. Pas sampai di rumah, Durian Sticky Rice saya taruh di kulkas. Ga ada petunjuk kalau produk itu harus disimpan di kulkas sih, cuma saya pengen aja nanti makan duriannya dingin-dingin. Pas dibuka, ternyata di dalam kemasan ada dua kaleng terdiri dari ketan dan durian. Seharusnya sih kayaknya ketan dan durian dicampur jadi satu gitu yah di piring, tapi waktu itu saya malah langsung icip dari kalengnya, hahaha.
Durian Sticky Rice |
Oke, let’s stop talking about food. Another way to get the taste of the local is having interaction with the local. Hal menyenangkan dan menegangkan menjadi seorang backpacker yang tidak terikat dengan jadwal tur adalah ketika nyasar. Mungkin kedengarannya aneh, ya? Nyasar bukannya bingung, malah seneng, hahaha. Karena saat nyasar itulah, our survival sense live. Kita jadi sangat memperhatikan arah dan lingkungan sekitar, yang mungkin kalau kita ikut tur, rasa itu akan lewat begitu saja. Saat nyasar mau ga mau harus bertanya, kalau ga mau semakin nyasar ga tentu arah. Dan, saat berinteraksi hal sederhana seperti itulah kita akan tahu sedikit mengenai masyarakat lokal di negara yang kita kunjungi. Mungkin bukan dari mengobrol panjang, tetapi hanya sekedar bertanya arah atau soal suatu produk yang kita beli. Tapi, setidaknya kita bisa mengetahui sedikit bagian dari diri penduduk lokal. Well, saya akui kalau ingin benar-benar merasakan kehidupan orang lokal lebih baik memang tinggal dengan mereka, misalnya melalui jaringan Couchsurfing. Tapi karena saya belum pede menggunakan jasa itu, makanya saya hanya sekedar berinteraksi hal-hal kecil saja dengan warga Thailand.
Oke, lanjut. Overall, saya merasa orang Thailand itu ramah. Pengalaman pertama adalah ketika di bandara dan saya mencari Tourist Information Center. Keluar dari pintu keluar ternyata saya menuju ke arah yang salah, dan saat itu saya bertanya ke petugas keamanan. Sayangnya saat saya berkomunikasi dengan bahasa Inggris, dia tampak sama sekali ngga mengerti. Dia lalu meminta selembar kertas (berisi itinerary saya) yang saya pegang dari tadi. Dia tampak mencari-cari sesuatu, dan saya baru ngeh kalau ternyata dia mencari aksara Thailand di itinerary saya, which he won’t found it. Iya lah, wong itinerary saya ditulis dalam Bahasa Indonesia, hahaha. Ngeliat dia kebingungan saya jadi malah tambah bingung, hahaha. Lalu, pelan-pelan saya menjelaskan kalau saya ingin mencari Tourist Information Center, sambil menggunakan bahasa tubuh, menggunakan bentuk kotak sebagai Tourist Information. I don’t know why I describe it like that, it just happen, hahaha. Terus saya bertanya “Is it that way?,” tanya saya sambil nunjuk ke arah berlawanan. Dan, dia hanya ngangguk-ngangguk aja, masih dengan tampang bingung, hahaha. Okay, that went well, wasn’t it? Ketika komunikasi lisan tak berhasil, gunakanlah bahasa tubuh. Catet!
Pengalaman lainnya adalah ketika sedang kebingungan nyari halte bis di Victory Monument, saya nyari lagi petugas keamanan yang lagi berjaga di sudut tikungan halte BTS. Untunglah mereka mengerti bahasa Inggris dan dengan tersenyum ramah menjelaskan arah halte bis. Tidak semua warga Bangkok mengerti bahasa Inggris dengan baik sepertinya, tapi mereka akan berusaha membantu kok. Sama seperti di Indonesia.
Misalnya saat saya sedang di bis menuju Vimanmek, saya
bertanya ke penumpang wanita di sebelah saya apakah Vimanmek sudah dekat.
Awalnya dia kelihatan kaget, dan saat saya mengulangi pertanyaan dia mengangguk
sedikit. Saat saya bertanya lagi, berapa lama lagi saya harus turun? Dia tersenyum
canggung. Akhirnya saya nanya lagi, “5 more minutes? Or ten minutes?”. Dia lalu
mengangguk-angguk. Entah jawaban mana yang benar, tapi setidaknya saya tahu
sebentar lagi saya akan turun, hehehe.
Pada saat sampai Vimanmek ini juga ada pengalaman lucu.
Setelah saya menyimpan sepatu di loker dan menuju ke bangunan utama Vimanmek,
setiap pengunjung diharuskan diperiksa dulu oleh petugas. Ini karena pengunjung
tidak diperbolehkan membawa barang apapun ke dalam Vimanmek. Nah, saat itu saya
berhadapan dengan petugas wanita dan pria. Petugas pria langsung berbicara
dalam bahasa Thailand kepada saya, dan saya hanya bisa melongo kebingungan. Melihat
tampang saya yang bloon kebingungan, petugas wanita langsung ngomong, “You’re
not Thai, aren’t you?”. Saya langsung menggeleng. Mereka berdua pun langsung
tertawa, dan saya baru ngeh kenapa mereka tertawa. Ternyata si petugas pria
mengira saya adalah warga lokal, jadi langsung ngomong dengan bahasa Thailand,
hahaha. Saya pun hanya nyengir-nyengir aja saat si petugas pria minta maaf
kepada saya.
Setelah dari Vimanmek, saya berniat menuju Dusit Throne Hall. Saat itu saya berasumsi kalau Dusit Throne Hall adalah bangunan yang besar. Tapi, ketika saya sampai di suatu halaman luas dengan bangunan sederhana di samping kanan, saya tidak menemukan bangunan yang saya bayangkan. Akhirnya saya nanya ke petugas keamanan di sana. Dengan ramah dia menjelaskan kalau bangunan yang saya cari itu ternyata adalah bangunan yang ada di sebelah kanan itu. Setelah berterima kasih, saya lalu beranjak pergi. Tapi, baru dua langkah, petugas tadi memanggil lagi dan langsung ngomong begini, “Miss, you are so beautiful”, sambil nyengir. Whaaatttt??!! I don’t know what to say at that time, I just say ‘Thank You’ to him, smiling, and run away. Hahaha. Iyalah, mana ada orang bilang begitu ketika saya saat itu lagi ngos-ngosan kecapean dan keringetan. The point is, at that time I’m nowhere near what common people describe about beauty.
Saat sudah berada dalam jarak aman dari si petugas, saya terus kepikiran beberapa kemungkinan kenapa dia ngomong begitu. Pertama, dia sedang berlatih bahasa Inggris dan sedang mengetesnya ke beberapa wisatawan yang datang ke sana. Kebetulan aja saat itu saya yang wanita menghampirinya dan dia menguji salah satu kosakata bahasa Inggrisnya. Kemungkinan kedua adalah dia seorang penggoda dan melakukannya kepada setiap wanita. Kemungkinan ketiga adalah dia benar-benar tulus mengucapkan itu. Nah, karena kemungkinan kedua dan ketiga tampaknya tidak mungkin sama sekali, saya pun lebih cenderung pada kemungkinan pertama. Eniwei, terlepas dari segala alasan di balik kejadian tadi, saat saya pulang ke Indonesia saya membaca sebuah artikel berjudul 8 Types of Girls that Guy would Travel With, dimana salah satu poinnya menyebutkan begini: Men will feel extremely burnt to see a sweaty girls with messy and muddy look than a full touched up lady. Ah ya, baiklah, itu kan menurut penulis artikelnya ya...
Mari lanjut ke pengalaman berikutnya, ketika saya berkesempatan mengunjungi Masjid Ban Oou. Di sinilah saya berkesempatan sedikit berinteraksi dengan muslim Thailand. Ketika saya sedang bersiap mengenakan mukena, ada seorang muslimah yang menghampiri saya, mengajak bersalaman, tersenyum dan mengucapkan salam. Hanya peristiwa kecil, tetapi cukup berkesan untuk saya. Senang rasanya bertemu dengan saudara sesama muslim di
negara minoritas muslim :).
Ngeborong Tao Kae Noi |
Kesempatan lainnya untuk berinteraksi dengan warga lokal adalah
ketika kita berbelanja. Sebelumnya saya sudah pernah menceritakan pengalaman
berbelanja di Wat Arun di postingan My Impulsive Trip: Bangkok (Day 2), yang
mengenai penjaja cinderamatanya pinter Bahasa Indonesia. Mungkin karena turis
Indonesia dikenal suka berbelanja, makanya pedagang di Wat Arun sampai
bela-belain belajar bahasa Indonesia. Persepsi mengenai turis Indonesia yang
suka berbelanja ternyata tak hanya di Bangkok saja, tetapi juga di Pattaya.
Ketika saya menghampiri salah satu pedagang cinderamata di sana, dia langsung berhasil menebak kalau saya adalah dari Indonesia. Ketika saya bertanya kok bisa langsung tahu, jawabannya karena banyak turis Indonesia yang datang ke kiosnya, hehehe. Saat berbincang dengan pedagang di Pattaya ini, saya merasa nyaman karena dia begitu ramah. Tidak hanya sekedar transaksi tawar menawar, tetapi juga berbincang mengenai hal kecil dan remeh temeh seperti cuaca di Thailand dan Indonesia hingga berbagai produk cinderamata yang dijajakannya. Dari dia, saya jadi tahu sedikit kalau produk cinderamata seperti magnet kulkas yang dijualnya itu ternyata tidak diproduksi di Pattaya, tapi di daerah lainnya (lupa nama daerahnya) yang warganya khusus membuat cinderamata magnet kulkas.
Di Thailand ini pula saya merasa tidak terlalu asing karena di sanalah salah satu basis suporter Liverpool FC terbesar di Asia Tenggara. Begitu mudah melihat Liver Bird tersebar di berbagai tempat. Tidak hanya di toko sepakbola yang saya sambangi dekat MBK tentu saja, tetapi juga di bagian belakang mobil, truk, sampai di jok motor ojek yang saya tumpangi di Pattaya. LFC is the world’s biggest family football club. No wonder with all of that things, impressions and nuisances that I have in Thailand, it makes me feel Thailand is a home faraway from home.
No comments:
Post a Comment