Saturday 17 May 2014

Europe On Screen 2014 - Extended Version

Europe On Screen (EOS) 2014 akhirnya usai pekan lalu. Ada sejumlah catatan menarik saat saya berkesempatan untuk turut serta menjadi penonton di tahun ini. EOS adalah acara nonton film gratisan terbaru yang saya ikuti, setelah lebih dari 5 tahun saya ngga ngikutin acara seperti ini. Dulu saat saya masih kuliah (lupa tahun berapa), saya sempat rajin ngikutin Jakarta International Film Festival (Jiffest). Tapi kesibukan skripsi dan bekerja setelahnya, membuat saya ga update lagi soal acara-acara begituan. Makanya, pas liat iklan EOS di salah satu majalah, saya langsung excited banget.

Total ada 13 film yang saya tonton di EOS 2014 dari puluhan film yang ditayangkan (seluruh film yang saya tonton sudah diposting sebelumnya). Beda dengan masa kuliah dulu yang waktunya lebih fleksibel, pada kesempatan kali ini saya memang cuma bisa nonton pas weekend. Di waktu itulah saya bisa nonton sepuasnya dari siang sampai malam. Sampai, adek saya terkaget-kaget. Saya sih ngeresponnya cuma: Ya..kapan lagi? Lagian juga gratis inih, hehehe.

Di EOS 2014 saya hanya memilih film-film yang diputar di Erasmus Huis dan Goethe Haus. Kenapa? Karena mereka bisa menampung hingga lebih dari 300 seats. Beda dengan venue lainnya, seperti Istituto Italiano di Cultura dan Institut Francais Indonesia yang hanya 100 seats. Jadi...dengan menonton di Erasmus dan Goethe akan punya lebih banyak peluang dalam mendapatkan tiket :p. Sementara, untuk perbandingan dua venue itu ada beberapa spot yang patut diperhatikan ketika memutuskan untuk menonton di Erasmus atau Goethe.


Venue Erasmus Huis
Mari kita bahas Erasmus dulu. Erasmus terletak di Kuningan, pas sebelahan dengan kantor kedubesnya. Buat yang les bahasa Belanda bisa daftar kesini juga. Di dalamnya ada beberapa fasilitas, seperti kafe sampai musola. Untuk musola, saya lebih suka yang ada di Erasmus sini karena lebih luas dan nyaman dibanding Goethe. Lokasi musola ada di bagian belakang. Nah, untuk auditoriumnya terletak di lantai 2. Auditoriumnya cukup luas dengan sebagian besar kursi ditempatkan di bagian tengah. Ada juga kursi yang ditempatkan di sisi kanan dan kiri layar, tapi kurang pewe buat nonton sebenarnya. Untuk spot nonton di Erasmus yang paling enak adalah di kursi paling depan. Mungkin ada yang bertanya-tanya: bukannya kalo nonton paling depan leher akan pegal? Tidak, kalo anda hanya seseorang dengan tinggi 150 cm :p. Desain auditorium Erasmus bukanlah laiknya seperti di bioskop yang berundak, tetapi rata dari belakang sampai depan. Makanya, kalau duduk di bagian tengah hampir pasti kamu akan kesulitan melihat layar di depan karena ketutupan orang. Yang ada badan akan bergeser ke kiri dan kanan demi melihat layar. Daripada pegel seluruh badan, mending leher aja yang pegal. Hehehe.


Venue di Goethe Haus
Sementara, venue di Goethe didesain berundak. Ini yang membuatnya lebih enak buat dijadiin tempat nonton. Ruangan tempat duduknya dibagi tiga, di bagian atas, tengah dan bawah. Tapi ada satu spot nonton paling enak di sana, yaitu di bagian tengah venue, di kursi atas. Jarak layar-tempat duduk dan ketinggiannya pas.  Ngga heran setiap pemutaran film pasti bagian tengah yang penuh duluan. Mau ga mau emang harus nungguin pas di depan pintu masuk biar dapet antrian paling depan dan bisa duduk di spot itu.
Tempat nongkrong yang asik di Goethe

Eniwei, sebagai persiapan saya sebelum berangkat nonton biasanya adalah membeli sebotol air mineral dan roti di minimarket sebagai bekal. Berhubung di dalam auditorium ga boleh makan-minum, maka saya melakukannya di sela-sela pemutaran film berikutnya. Baik di Erasmus maupun Goethe punya tempat asik buat nongkrong sembari menunggu film.

Nah ada hal yang menarik di hari pertama nonton di Erasmus, sebelum pemutaran Walesa: Man of Hope, pas saya naik ke lantai 2 untuk masuk ke auditorium, ternyata di ruangan sebelah auditorium ada acara makan-makan. Bukan jenis makanan berat sih, tapi hanya sekedar snack saja. Saya mengira akan menemukan risol, kue sus, atau lemper gitu ya pas masuk ke dalem. Eh ternyata pas dilihat lebih dekat jenis snack-nya ala Barat. Ngga tau deh apa namanya.


(Kiri) Deretan snack ala Barat;
(Kanan) Pos minuman: Jus jeruk, jus jambu dan wine
Saya cuma mencicip satu jenis snack, potongan french bread dengan topping mashed avocado dan dua buah udang rebus. Rasanya aneh, hambar. Jadi kangen sama sosis solo, serabi dan aneka jenis jajanan pasar lainnya :p. Yang ga biasa juga adalah mereka juga menyediakan wine. Untungnya ada pilihan jus jeruk sama jus jambu, kalo ga ya seret aja deh itu tenggorokan :D. Saya ngga tau kenapa saat itu ada jamuan snack, tapi dugaan saya adalah itu salah satu compliment dari Kedubes Polandia sebelum nonton film Walesa. Soalnya selain itu, belum ada jamuan lagi selama pemutaran film kecuali pas penutupan acara.


Antrian di Erasmus untuk nonton Philomena
Lalu bagaimana antrian selama EOS 2014? Di minggu pertama bisa dibilang ga ada antrian panjang. Paling cuma 5-10 orang yang ngantri lalu dapet tiket. Tapi, di minggu terakhir EOS 2014 antriannya bagai ular naga panjangnya. Mungkin karena itu minggu terakhir dan film yang diputer kebetulan juga bagus, jadi kayak begitu. Misalnya pas mo nonton Delicacy sama Philomena. Udah jadi kebiasaan para penonton (termasuk saya), kalo mau lanjut nonton film berikutnya, maka selesai nonton satu film pasti akan langsung lari ke bawah buat antri tiket lagi. Nah, ga disangka selesai nonton Searching For Sugar Man, pas saya lari ke bawah buat antri tiket Delicacy, udah ada lebih dari 100 orang yang antri disana. Malah, pas selesai nonton Delicacy dan antri untuk tiket Philomena, antriannya udah panjang banget, lebih dari 200 orang kayaknya.


Editor Final Cuts - Ladies & Gentlemen, Nora Richter (sebelah kiri)
Yang membuat EOS menarik juga hadirnya sejumlah pembuat film. Saya berkesempatan bertemu dengan salah satu editor Final Cuts - Ladies & Gentlemen -, Nora Richter. Dia adalah salah satu dari empat editor yang bekerja selama tiga tahun untuk membuat film itu. Tahun pertama dihabiskan hanya untuk menyortir film-film yang akan dimasukkan ke film ini. Proses penyortiran film, adegan dan editing pun melalui ribuan jam diskusi, berpak-pak rokok dan ribuan cangkir kopi. Nora juga membicarakan soal hak cipta dari film ini. Berhubung menyangkut hak cipta lebih dari 500 film maka Final Cuts tidak bisa ditayangkan di bioskop untuk keperluan komersial. Film ini hanya boleh ditayangkan di festival film yang non komersial, for educational purpose only. Namun hingga sekarang tim pembuat film Final Cuts sedang terus berusaha untuk mendapatkan  ijin dari production house agar ke depannya film ini bisa tayang di bioskop. Saya merasa beruntung bisa melihat film ini :)


Friday 16 May 2014

Europe On Screen 2014 - 2nd Weekend -

Di Europe On Screen (EOS) minggu ke dua, saya menonton enam film. Empat film di hari Sabtu (10/5) dan dua film di hari Minggu (11/5). Kembali, di hari Sabtu saya ngendon di Erasmus Huis dari jam 12 siang sampe 9 malam, lalu di hari Minggu ke Goethe Haus. Film yang saya tonton di Erasmus adalah The Magician, Searching For A Sugar Man, Delicacy dan Philomena. Sementara, di Goethe saya nonton Wadjda dan Love Is All You Need. So, here's the review...

1. The Magician
Won Politiken Audience Award; Audience Golden Film Award 2011
Won Best Buster Award at Buster International Children's Film Festival
Film anak-anak produksi Belanda ini menceritakan kisah seorang anak bernama Ben Stikker yang berkeinginan menjadi pesulap. Bersama ayahnya, ia pun mulai belajar di sebuah sekolah sulap. Setelah beberapa lama mempelajari trik sulap, Ben dan ayahnya mulai berani melakukan pertunjukan, dibantu oleh teman sekolah Ben, bernama Sylvie yang berperan sebagai asisten. Sylvie disini adalah seorang anak perempuan lincah dan berasal dari keluarga broken home. Ibunya yang sibuk membuat Sylvie merasa kurang diperhatikan. Walau ia dilimpahi dengan materi yang cukup, tapi itu tak membuatnya bahagia.
Inti ceritanya dimulai ketika ayahnya Ben melakukan trik sulap menghilangkan orang. Itu loh yang asisten pesulap biasanya masuk ke dalam sebuah boks, lalu tiba-tiba menghilang, terus beberapa menit kemudian ada lagi di dalam boks. Naah...saat melakukan trik ini, ternyata Sylvie ngga kembali lagi. Kebingungan, keluarga Stikker harus menghadapi kenyataan bahwa mereka telah menghilangkan anak orang.  Mungkin dari sini bisa ditebak, kenapa Sylvie bisa menghilang. Silver lining dari film ini adalah seberapapun sibuknya orangtua, hendaknya bisa selalu memperhatikan dan memberikan waktu berkualitas pada buah hatinya.

2. Searching For Sugar Man
Won Best Documentary Features at Oscar 2013
Won Special Jury Prize for World Cinema Documentary at
Sundance Film Festival 2012
Menceritakan perjalanan karya seorang penyanyi asal Amerika Serikat bernama Rodriguez, yang tidak terkenal di negara asalnya, tetapi menjadi inspirasi bagi perjuangan Apartheid di Afrika Selatan. Seorang lelaki bernama Rodriguez mengeluarkan sebuah album di akhir tahun 1960-an dengan didukung oleh produser yang pernah bekerja sama dengan Stevie Wonder dan Marvin Gaye, tetapi sayangnya albumnya tidak laku di pasaran. Namun entah bagaimana awal mulanya, rekaman bajakan album Rodriguez sampai ke Afrika Selatan dan menjadi hits di sana. Karya-karyanya dinilai sebagai suara perjuangan masyarakat melawan Apartheid. Saking hitsnya dengan perkiraan penjualan album mencapai ratusan ribu kopi, sejumlah pemilik label rekaman dan fans di Afsel bahkan menganggap Rodriguez lebih besar dari Elvis Presley dan The Rolling Stones. Kendati lagu-lagu Rodriguez begitu terkenal dan menjadi inspirasi banyak orang di Afsel, tidak banyak informasi yang beredar soal dirinya. Saat orang Afsel menanyakan kepada warga Amrik soal Rodriguez, orang-orang Amrik pun tidak ada yang mengenalnya. Itulah yang menjadi latar belakang pembuatan film dokumenter ini: mencari jejak Rodriguez. Saat menonton film ini saya benar-benar kagum bagaimana musik bisa menginspirasi banyak orang, terutama dalam melawan Apartheid.

3. Delicacy
Won Prix Aquitaine for Best Actor at Sariat International Cinema Festival
Best FIrst Film & Best Adapted Screenplay Nominee at Cesar Awards
Delicacy is HILARIOUS! Truly. Aktris Prancis, Audrey Tatou menjadi magnet tersendiri saat memutuskan menonton Delicacy. Namun alur cerita film komedi romantis ini secara keseluruhan yang membuatnya layak untuk ditonton. Film ini mengisahkan perjalanan hidup Nathalie (Tatou), seorang wanita karir sukses. Sejak suaminya meninggal, Nathalie menjadikan pekerjaan sebagai pelariannya. Ngga tertarik sedikit pun untuk menjalin hubungan lagi dengan pria lain. Big boss yang mendekatinya pun ditolak mentah-mentah. Namun, film ini menjadi sangat menarik untuk ditonton, ketika Nathalie tiba-tiba begitu saja mencium bawahannya, Markus, secara tidak sadar. Markus ini adalah seorang pria tinggi besar yang kikuk dan setengah botak, pokoknya bukanlah tipe orang yang mungkin akan membuat para wanita melihatnya dua kali saat berpapasan di jalan. Ini sangat bertolak belakang dengan Nathalie yang charming. Naah, ciuman dari Nathalie itu sangat membekas di benak Markus. Saat akhirnya Markus menghadapi Nathalie untuk menanyakan alasannya, Nathalie mengatakan kalau ia khilaf, meminta maaf atas perbuatannya, dan meminta Markus untuk bersikap profesional. Namun Markus tidak bisa melupakannya begitu saja dan nekat mengajak Nathalie untuk nge-date sekali saja. Dan..disitulah mulai terlihat kepribadian Markus yang ternyata baik dan polos. Even though maybe other person underestimated him on physically thing, he's actually a warm-hearted, gentleman, and funny person. Itulah yang membuat Nathalie akhirnya jatuh cinta pada Markus, walau banyak orang yang tidak mempercayainya. Sejumlah scene di sini juga lucu banget. Markus has a really good sense of humor. Film ini menjadi film terlucu yang saya tonton selama perhelatan EOS 2014, dan berhasil membuat 'geerrrrr' satu auditorium Erasmus :D

4. Philomena
Won Best Adapted Screenplay at BAFTA Film Awards
Best Picture, Best Actress Nominee at Oscar 2014
Akhirnya bisa nonton film ini juga setelah melewatkannya minggu lalu. Film ini menceritakan perjalanan seorang wanita bernama Philomena yang mencari anak lelakinya yang telah dipisahkan darinya sejak balita. Setelah terpisah selama 50 tahun, Philomena pun mulai mencari jejak anaknya, dengan dibantu oleh seorang jurnalis politik, Martin Sixsmith, yang pada akhirnya tertarik untuk membuat berita human interest. Lalu dimulailah petualangan mereka hingga ke Amerika Serikat. Melihat film ini maka kita akan menemukan sisi konservatif Inggris Raya di tahun 1950-an, serta kesenjangan persepsi tentang kondisi masyarakat antara Martin dan Philomena. Ada satu quote dari Philomena yang saya suka dari film ini yang kira-kira bunyinya begini: It's important to be nice to people on the way up, because you might meet them again on the way down.

5. Wadjda
Won Audience Award for Best Feature Film at Goteborg Film Festival
Won DIoraphte Award at Rotterdam International Film Festival
Wadjda adalah film yang memotret budaya Arab Saudi secara umum. Seorang anak perempuan bernama Wadjda berkeinginan memiliki sepeda sehingga ia dapat berlomba dengan teman mainnya, Abdullah. Namun, anak perempuan bermain sepeda di Arab Saudi bukanlah pemandangan umum. Saat Wadjda mengutarakan keinginannya itu, orang di sekitarnya pun melarangnya. Tapi, Wadjda yang tomboy menghiraukan pendapat itu. Hingga saat ke toko sepeda, ia menemukan satu sepeda yang menarik hatinya. Sayangnya, harga sepeda itu sangat mahal. Wadjda pun memutar otak agar bisa mendapat tambahan uang, sampai ada satu lomba membaca Al Quran yang diadakan di sekolahnya dengan hadiah 1000 riyal. Demi mendapatkan sepeda itu, akhirnya Wadjda mati-matian belajar Al Quran dan tafsirnya agar bisa memenangkan lomba. Dari film ini, kita bisa melihat bahwa dengan berusaha bersungguh-sungguh, pasti akan mendapat hasilnya. Juga, dapat melihat bagaimana posisi wanita di tengah masyarakat Arab Saudi.

6. Love Is All You Need
Won Best Actress at Robert Awards
Won Best Comedy at European Film Awards
 Love Is All You Need merupakan film produksi Denmark tahun 2012. Pas ngeliat salah satu pemerannya adalah Pierce Brosnan, saya jadi penasaran apa iya si Brosnan bisa bahasa Denmark ya? Tapi...ternyata di sepanjang film dia ngomong bahasa Inggris, hehehe. Eniwei, film ini menceritakan kisah seorang wanita bernama Ida, yang baru saja menjalani operasi kanker payudara dan menemukan bahwa suaminya berselingkuh dengan wanita lain. Sementara Brosnan berperan sebagai Philip, seorang duda yang belum bisa melupakan mendiang istrinya. Mereka bertemu di pernikahan kedua anak mereka, dan akhirnya menemukan bahwa walau ada suatu momen menyakitkan dalam hidup dan sulit untuk melupakannya, hal yang terpenting adalah untuk terus menjalani hidup, semangat menghadapinya, dan berani untuk mengambil langkah baru.

Tuesday 13 May 2014

We Are Kopites

Barclays Premier League 2013/2014 sudah usai. Liverpool FC memang tidak memenangi trofi Premier musim ini, tapi perjalanannya di musim ini begitu menakjubkan. Dari yang semula tidak diperhitungkan sebagai kandidat juara dan hanya menargetkan masuk empat besar demi tiket Liga Champions musim depan, siapa yang sangka mereka akan berada di jalur perebutan titel sampai pertandingan terakhir.

Merefleksikan dari perjalanan Liverpool FC musim ini, saya teringat pernyataan manager, Brendan Rodgers, ketika banyak yang terhenyak saat Liverpool FC berada di peringkat pertama and they're all fussy about our opportunity of winning the League. Saya ingat waktu itu Brendan mengatakan: "Target utama Liverpool FC musim ini adalah kembali masuk empat besar agar bisa bermain di Liga Champions musim depan. Jika kami memenangkan liga itu adalah sebuah bonus".

Terlepas dari hilangnya kesempatan memenangkan sebuah trofi yang paling ditunggu selama 24 tahun, saya bangga akan perjalanan skuat musim ini. Sejak awal musim Liverpool FC tidak memasang target muluk-muluk. Pun para suporter. Saat bursa transfer musim panas lalu, Liverpool FC tidak membeli banyak pemain. Untuk memenuhi kelengkapan dan kekuatan tim, pemain muda pun jadi andalan. Salah satunya yang bersinar di musim ini adalah Raheem Sterling.

Banyak peristiwa yang membuat keluarga Liverpool tersenyum dan menangis bersama di musim ini. Ada masa ketika kalah/seri dan harus kehilangan poin, di sisi lain menang dan menyambut kesempatan untuk berada di posisi pertama klasemen. There are some matches that become memorable ones. Kemenangan telak atas Arsenal dan Tottenham Hotspur di Anfield jadi salah satunya. Beberapa kemenangan atas rival tua seperti Manchester United dan Everton juga terekam jelas. Pun ketika menang tipis dari Manchester City. Maupun saat harus menelan kekalahan dari Chelsea dan harus rela kehilangan poin di masa krusial saat melawan Crystal Palace.

Emosi yang membuncah di tiga pertandingan sebelum musim usai, melawan Chelsea, Crystal Palace dan Newcastle United menjadi catatan tersendiri dan di masa itu saya merasa bahagia dan bangga dapat menjadi salah satu bagian dari keluarga besar Liverpool FC. Bagaimana tidak?

Di pertandingan melawan Chelsea di Anfield, Liverpool FC harus menelan pil pahit dengan kekalahan 2-0. Dimulai dari blunder Gerrard di tengah lapangan, yang terselip saat menerima bola dari Mamadou Sakho. Demba Ba (pemain Chelsea) tidak menyia-nyiakan kesempatan dan membuatnya menjadi gol. Ya Tuhan... Cukup sakit rasanya melihat kejadian itu. Apalagi setelah pertandingan banyak yang mengolok Gerrard karena dia pernah berkata kepada rekan setimnya agar tidak terselip dalam pertandingan selanjutnya usai menang lawan Manchester City, tetapi secara harfiah akhirnya ia sendiri yang terselip dan menyebabkan lawan unggul.

Bukan berarti karena itu adalah seorang Gerrard lalu saya membelanya habis-habisan. Tapi itu adalah suatu kejadian yang bisa menimpa siapa saja. Jadi teringat blunder Kolo Toure saat melawan West Brom, dimana membuat Liverpool FC hanya harus puas dengan hasil seri. Atau gol bunuh diri Glen Johnson saat melawan Manchester City dan juga Martin Skrtel di beberapa pertandingan. Shit happens.

Namun, yang membuat saya akhirnya tak bisa lagi menahan rasa haru adalah saat gol kedua Chelsea di menit-menit akhir. Bukan karena golnya. Tetapi bagaimana suara dukungan Kopites terdengar nyaring, usai gol itu. I just couldn't hold my emotion at that time. I was crying. Haru oleh dukungan supporter yang hadir di Anfield hari itu. Di saat pemain Liverpool FC tertunduk lesu karena gol kedua Chelsea, para suporter Liverpool FC bergemuruh mendendangkan bait "You'll Never Walk Alone" over and over again. Endless and massive support. I reaaallllyyy wish I could be there too.

Lalu di pertandingan melawan Crystal Palace, saat keunggulan 3-0 Liverpool FC akhirnya harus berakhir dengan 3-3 dan membuat perjalanan untuk meraih trofi liga semakin kecil. In the last minute, I said to them that it's okay. Maybe it has to do this way. Saya berusaha untuk tidak emosional. I know how the players must feel devastated after the match, so I was trying to be strong for them. Tapi, ketika melihat Luis Suarez tidak mampu menahan emosinya, menangis dan menutupi mukanya dengan kaus, lagi-lagi saya turut menangis. And so then again, I said to them: Pleeeaasseee, don't cry. We're gonna be fine. It's okay. Lalu melihat Gerrard yang menghampiri Suarez dan mengangkatnya untuk bangkit, dan Kolo Toure yang membimbing Suarez menuju ruang ganti. Semua proses itu membuat saya tidak mampu berkata-kata. 

Di pertandingan terakhir melawan Newcastle United di Anfield menjadi misi terakhir skuat Liverpool FC. Even though, our chance is small to win the league, but we never lose hope. At least, walau pada akhirnya tidak memenangi trofi, saya berharap bisa melihat Liverpool FC memenangi pertandingan terakhirnya. And they did. Bagi saya, itu sudah cukup.

Melihat seluruh perjalanan Liverpool FC musim ini benar-benar suatu hal di luar dugaan. Musim lalu Liverpool FC hanya berada di peringkat ketujuh, tapi lihat posisi kita sekarang, peringkat dua klasemen dan menjadi pesaing serius dalam merebut gelar. Liverpool FC juga bukanlah tim dengan banyak uang seperti halnya Manchester City ataupun Chelsea, tapi kami bisa membuktikan bahwa uang bukanlah segalanya untuk dapat bersaing di Premier League. Kebersamaan tim menjadi salah satu kuncinya. Melihat kebersamaan mereka membuat kami, para Kopites, selalu yakin menjalani musim ini. Masih banyak yang menjadi pekerjaan rumah di musim depan, terutama lini belakang. But, I'm sure we will become stronger next season.

Dreams and hopes are being made together. They are the reason to hang on to when we have to face obstacles in life. Life is meaningless without dreams and hopes. I still have a dream that they gonna win the League. No matter how long it takes, I am sure they gonna make the dream come true someday through endless hard work. We're gonna be always going through dark times on our path, but there's always a light in front of you.

Ada satu statement Gerrard mengenai perebutan trofi Liga beberapa hari lalu: "Saya pikir waktu saya untuk perebutan gelar liga telah habis sejak lama. Tapi dengan bermain bersama skuad musim ini, mimpi itu telah kembali". Jangan pernah berhenti untuk bermimpi! #KeepTheDreamAlive #Proud

When you walk through a storm, hold your head up high
And don't be afraid of the dark
At the end of the storm is a golden sky
And the sweet silver song of a lark
Walk on through the wind, walk on through the rain
Tho' your dreams be tossed and blown
Walk on, walk on with hope in your heart
And You'll Never Walk Alone, You'll Never Walk Alone
Walk on, walk on with hope in your heart
And You'll Never Walk Alone, You'll Never Walk Alone

Saturday 10 May 2014

My Impulsive Trip: Thailand (Preparation)


Liburan kali ini awalnya ga direncanakan sama sekali. Saat di awal tahun 2014 ngeliat ada promo Air Asia ke Bangkok, mata saya langsung berbinar-binar. Emang sih bukan promo Free Seat, tapi paling ga, ngeliat penawaran ke Bangkok 'hanya' Rp 190 ribu membuat saya langsung memainkan jari untuk mencari jadwal penerbangan (lebih tepatnya tiket promo :p). Akhirnya ada dua pilihan yaitu di minggu pertama dan terakhir bulan April. Tung-itung saya memutuskan untuk pergi di minggu terakhir bulan April. Total tiket yang harus dibayar adalah Rp 1,2 juta. Tiket Jakarta-Bangkok Rp 190 ribu, Bangkok-Jakarta Rp 1 juta. Agak sedikit mikir, karena ngga dapet tiket pulang dengan harga Rp 190 ribu.

Tapi...keinginan yang menggebu untuk berlibur mengalahkan itu semua. Ah well, kapan lagi bisa dapet harga tiket segini. Biasanya kan tiket Jakarta-Bangkok pp harganya di kisaran Rp 2 juta. Daaannn...jadi aja gitu saya booking tiketnya, tanpa pikir panjang. That's why I called this trip: an impulsive trip. Hahaha. Right after I booked the ticket, I said to myself: After working hard last year, I think I deserve a treat for myself. And this trip is a part of it.

Sebulan menjelang keberangkatan, saya mulai rajin nyari-nyari hostel dan browsing untuk buat itinerary. Di masa itu sempet kepikiran memakai jasa Couchsurfing (web untuk dapat menginap secara gratis di suatu negara dengan request couch ke orang lokal), berhubung saya udah jadi member sejak beberapa tahun lalu, tapi masih pasif. Namun setelah dipikir-pikir lagi, akhirnya ngga jadi karena ngerasa kurang pede, hehehe.

Nah..berhubung di liburan kali ini saya pergi sendiri, sebenernya saya nervous juga. Soalnya, ini pertama kalinya saya pergi liburan ke luar negeri sendirian. Dulu emang pernah saya pergi backpacking sendirian ke Wakatobi, tapi itu kan masih wilayah Indonesia ya bu...So, it's not a big deal. Nah yang ini ke negara orang, bo. Tulisan yang dipake juga bukan abjad Latin, tapi tulisan yang udah mirip kayak cacing. Hadeuh. Karena impulsifnya saya saat liat promo itu, belakangan baru kepikiran hal-hal yang kayak gitu, hehehe.

Akhirnya demi mencari temen traveling, saya langsung memutuskan gabung di Backpacker Indonesia (BPI). Pas nyari-nyari, ketemu dengan seorang backpacker bernama Tira, yang tanggal keberangkatannya sama dengan saya. Bedanya saya sampe Bangkok jam 11 siang, Tira baru nyampe jam 8 malam. Yang bedanya lagi, saya baru pulang ke Jakarta hari Sabtu, Tira pulang hari Jumat. Jadinya cuma bisa jalan bareng di hari Kamis. Yo wis, ngga apa-apa juga lah ya... Yang penting ada temennya, hehehe. Ujungnya berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa saya pasti bisa!

Eniwei, dalam trip ke Bangkok kali ini saya memutuskan untuk menginap di hostel. Survei beberapa hostel yang murah via booking.com, hostelworld.com dan agoda.com. Mencoba mencari hostel yang strategis, dekat dengan stasiun MRT atau BTS. Sebenernya Thailand punya wilayah yang terkenal di kalangan backpacker, yaitu Khao San. Tapi pas tau kalo akses ke Khao San hanya bisa pake taxi atau tuk tuk, saya memutuskan untuk tidak ke sana. Bagi saya yang solo backpacking jatohnya akan berat di ongkos kalo setiap balik ke hostel harus naik taxi atau tuk tuk. Pilihan yang pas adalah naik BTS atau MRT.

Akhirnya setelah browsing selama beberapa hari, saya nemu dua hostel yang cocok, yaitu De Talak Hostel (dekat stasiun MRT Queen Sirikit Convention Center) dan VX Fifty (dekat stasiun BTS On Nut). Setelah menghitung ongkos transportasi dan kemudahan akses dari-ke bandara, saya akhirnya memutuskan untuk booking di De Talak Hostel via booking.com. Kenapa?

Maskapai Air Asia di Thailand kini menggunakan bandara Don Mueang sebagai pangkalannya. Dari hasil saya browsing, tidak ada stasiun BTS atau MRT di Don Mueang. Beda dengan bandara di Thailand yang satu lagi, Suvarnabhumi yang punya jalur Airport Link. Jadi, pilihan moda transportasi dari Don Mueang ke Bangkok adalah taksi, bis, atau kereta. Opsi naik taksi udah pasti dicoret dari daftar saya, karena rata-rata biaya naik taksi Don Mueang-pusat kota adalah 300-400 baht (Rp 110 ribu-Rp145 ribu). Mahal buat saya yang pengen ngirit :p.

Tersisa dua pilihan, yaitu naik kereta dan bis no 29 yang tujuan akhirnya sama, yaitu Hua Lamphong. Waktu tempuh perjalanannya kereta dan bis pun sama: 1 jam. Setelah mikir-mikir lagi, akhirnya saya memutuskan untuk naik kereta. Alasannya, saat di kota Bangkok saya akan beberapa kali naik bis untuk membawa saya ke spot-spot yang ada di itinerary, jadi kapan lagi naek kereta di Thailand? Udah jadi kebiasaan kalo lagi trip ke suatu tempat sebisa mungkin saya ingin mencoba semua moda transportasi yang ada. Maklum, sehari-hari saya naik angkutan umum. Jadi pengen ngerasain aja naik angkutan umum di tempat yang beda, hehehe. Eniwei, alasan kenapa saya akhirnya memilih De Talak yang dekat dengan stasiun MRT adalah karena di Hua Lamphong ada stasiun MRT. Jadi gampang kalo mo ke hostel. Dan ga rempong juga saat pulangnya. Ngga perlu transit MRT/BTS, keluar dari stasiun, bisa langsung naik bis atau kereta ke bandara.

Urusan hostel udah kelar, giliran beli tiket Madame Tussaud. Rekomendasi dari beberapa orang adalah membeli tiket Madame Tussaud lebih awal (early bird) via online agar lebih murah. Dari yang harga aslinya 800 baht bisa dapet 480 baht saja. Syaratnya: pesan dalam jangka waktu 30 hari sampai 24 jam sebelum kedatangan dan harus masuk ke Madame Tussaud sebelum jam 12 siang. Aaahh...cingcai banget kan syaratnya. Demi tiket murah, apa sih yang engga? Hahaha. Menjelang dua minggu sebelum keberangkatan, saya beli tiket Madame Tussaud. Bayar pake kartu kredit. Done.

Langkah selanjutnya adalah nuker rupiah ke baht. Beberapa kali ngecek di CIMB Niaga rata-rata ratenya 1 baht = Rp 400. Untungnya saya udah sempet kontak-kontakan sama Tira (temen BPI). Dia ngasih tau kalo rate itu kemahalan. Ada money changer yang lebih murah di ITC Kuningan. Akhirnya kita janjian buat nuker uang barengan.

Pas nyampe di ITC Kuningan kita langsung menuju money changer bernama Valuta Artha Mas di lantai 1. Ternyata di sana emang lebih murah dan ga jauh sama rate BI. Saya dapet 1 baht = Rp 359, sementara rate BI saat itu kalo ga salah Rp 356. Dibanding rate di CIMB Niaga, yang di Valuta Artha emang jadi best deal. Lumayan kaaan bedanya...hehehe. I owe you, Tira :). 

Eniwei, saya menetapkan budget awal untuk trip kali ini sekitar Rp 2 juta untuk 4 hari. Itu udah all in: bayar hostel, tiket masuk ke tempat wisata, biaya transport, makan dan belanja. Saya memutuskan menukarkan uang 5000 baht (Rp 1,8 juta). Insya Allah cukup. Namun Tira saat itu langsung nyeletuk "Yakin nuker uangnya cuma segitu, mba? Saya aja yang cuma 3 hari nukerinnya 6000 baht. Emang ngga mau belanja di sana?". Deeennggg... Saya jadi mikir lagi, hehehe. Emang sih tujuan utamanya bukan mau belanja, tapi kan siapa yang tau yah godaan apa yang menanti di sana, hahaha. Akhirnya saat itu saya memutuskan cukup dengan bawa 5000 baht saja.
Tas andalan. Packing kelar, paspor siap sedia :)

Tapi menjelang H-2 saya jadi galau lagi. Kira-kira cukup ngga ya bawa uang segitu? Walaupun udah budgeting biaya yang akan dihabiskan di sana, tapi saya hanya melebihkan sedikit uang sebagai dana darurat. Pada akhirnya saya pun menukarkan uang lagi. H-1 di pagi hari saya balik lagi ke ITC Kuningan. Sayangnya saat itu Valuta Artha Mas belum buka, jadilah saya ke money changer yang ada di sebrangnya. Saya lupa catet namanya. Tapi yang jelas disana saya dapet rate Rp 362. Yaahhh udah naik tiga poin dari rate yang saya dapet sebelumnya. Tapi, ya udahlah ya, daripada ga ada. Di situ saya nuker 1100 baht. Sengaja dilebihin 100 baht biar dapet receh buat naek kereta. Alhamdulillah beneran dapet receh, lima lembar 20 baht. Lumayan...

Urusan tiket, booking hostel, nuker uang, dan packing selesai. Thailand, here I come :)

Friday 9 May 2014

Europe On Screen 2014 - 1st Weekend




 EOS Header
Pertama kali liat iklan event Europe On Screen (EOS) 2014 di salah satu majalah digital langsung membuat mata saya terbelalak. Nonton film gratis? Yang ga bakal ada di bioskop, kecuali acara festival film? Udah gitu film-film berkualitas yang jadi nominasi Oscar dan menangin banyak penghargaan? Siapa yang ga mau cobaaaa???

Saat itu juga saya langsung buka google dan cari tau soal event itu. Langsung ngiler pas liat jadwal-jadwal film yang nampang di websitenya: europeonscreen.org. I HAVE TO WATCH ALL OF THOSE MOVIES!!! (Ngimpi sih, secara hari kerja ga mungkin nonton -_-). Jadilah saat itu juga langsung menetapkan film-film apa aja yang mau ditonton di weekend pertama (2-3 Mei 2014).

Pilihan di hari pertama (2 Mei) jatuh ke film-film yang diputer di Erasmus Huis, yaitu Ernest et Celentine, Walesa: Man of Hope, The Gilded Cage dan The Pirates! Band of Misfits. Saya memang sengaja memilih film-film yang diputer di satu tempat aja, jadi ga usah rempong ngejar-ngejar film di tempat lain. FYI, venue yang jadi tempat nonton EOS ga cuma di Erasmus aja, tapi juga di Goethe Haus, Institut Francais Indonesia, Istituto Italiano di Cultura, Taman Kodok, dan di Universitas Tarumanegara.

Eniwei, saat di hari pertama itu, saya dateng telat. Udah rada kuatir ga akan kedapetan tiket. Secara itu kan film gratisan ya, bo... Alhamdulillah, masih dapet tiket. Dan pas masuk ke dalem ternyata baru 3/4 kursi yang keisi. Mungkin ga banyak yang nonton karena Ernest et Celestine itu adalah film kartun, hehehe...

Nah..di hari kedua (3 Mei) saya memutuskan untuk ngendon di Goethe Haus untuk nonton 3 film: Alfie The Little Werewolf, Klitschko, dan Final Cuts-Ladies and Gentlemen. Sebenernya pengen lanjut nonton Philomena, tapi diurungkan karena di hari Senin saya ada liputan pagi. Naahh... cerita selanjutnya adalah mengenai tujuh film yang saya tonton pas weekend kemaren, yaaa... Here we go...

1. Ernest et Celestine 
 Film ini mengisahkan tentang persahabatan antara beruang dan tikus bernama Ernest dan Celestine. Walau pendapat awam mengatakan bahwa beruang dan tikus itu ngga akan bisa akur dan temenan, Ernest dan Celestine membuktikan hal sebaliknya. Against all odds, Ernest dan Celestine malah jadi teman baik dan saling care satu sama lain. Ngeliat film ini saya jadi kangen sama temen-temen saya...:)
- Best Animated Film Cesar Awards 2013
- People's Choice Award Dubai International Film Festival 2013
- Oscar 2014 Nominee for Best Animated Feature


2. Walesa: Man of Hope
WALESA: MAN OF HOPE
Best Actor at Chicago International Film Festival 2013
Bridging the Borders Award at Palm Springs International Film Festival 2014
Lech Walesa adalah seorang buruh yang menjadi politikus di Polandia. Pemenang Nobel Perdamaian tahun 1983 ini sangat vokal dalam menyuarakan aspirasi kaum pekerja. Walau dapat tekanan dari pemerintah, dipenjara dan diinterogasi berkali-kali, semangatnya tak pernah padam. Menurut saya, hal itu tak terlepas dari dukungan keluarga terutama istrinya, Danuta. Seperti saat Lech akan ditangkap oleh pihak pemerintah, atau ngotot ikut demonstrasi, istrinya tetap ada di samping Lech. Ngeliat dukungan si Danuta terhadap suaminya, saya salut banget sama dia. Ngga heran kalo Lech juga jadi sangat mencintai istrinya yang pengertian. Salah satu adegan mereka yang saya suka adalah waktu rumah mereka dipenuhi dengan aktivis dan Danuta mulai ngerasa jengah dengan banyak orang yang berkumpul di rumah dan mengusir mereka keluar. Lech langsung buat tulisan di selembar kertas "THYPUS" buat ditempel di depan pintu rumah, supaya orang-orang ngga pada masuk ke rumah :D. Film yang diawali dengan interview antara wartawan terkenal Eropa, Oriana Fallaci dengan Lech Walesa ini cukup memberikan insight mengenai kondisi perjuangan politik Polandia di era 1970-1980an. 

3. The Gilded Cage
THE GILDED CAGE
Audience Award European Film Awards 2013
Best Feature Film 
Nominee at Sao Paulo International Film Festival 2013
 Film ini menceritakan tentang sebuah keluarga berdarah Portugal yang telah lama tinggal di Paris. Kisah seru di film ini dimulai ketika sang orangtua mendapat warisan perkebunan anggur, namun dengan syarat mereka harus tinggal di Portugal agar warisan itu sah menjadi milik mereka. Padahal, dua anak mereka sudah betah tinggal di Paris karena lahir dan besar di kota mode itu. Sementara, sang orangtua sebenarnya juga sudah punya pekerjaan yang mapan dan sangat dipercaya oleh bos-bos mereka. Kegalauan yang dirangkum dalam The Gilded Cage ini cukup memberikan tawa setelah sebelumnya nonton film yang agak serius, hehehe. Yang jelas, terlepas dari adanya warisan yang dipertaruhkan di sana, tetap ngga akan ada yang bisa menggantikan ikatan batin seseorang dengan tanah kelahirannya.

4. Pirates! Band of Misfits
THE PIRATES! BAND OF MISFITS
2013 Oscar Nominee for Best Animated Feature
Pirates! Band of Misfits merupakan film tentang kapten pembajak bernama Pirate Captain (iya emang itu namanya), yang sempat kehilangan kepercayaan diri karena selalu diremehkan oleh pembajak-pembajak lainnya. Inti cerita film ini bermula ketika ia bertemu dengan ilmuwan bernama Charles Darwin, yang mengatakan bahwa hewan peliharaan sang kapten: Polly adalah burung Dodo. Padahal, selama itu Captain Pirate mengira Polly adalah burung nuri, hahaha. Lalu karena mendengar ada pagelaran Scientist of The Year di London, Darwin, Captain Pirate dan krunya pun langsung menuju ke sana demi mendapatkan hadiah. Secara, burung Dodo kan saat itu udah dianggap punah ya, bo. Walaupun ratu Inggris saat itu, Queen Victoria sangat benci dengan perompak, itu ngga menghentikan langkah Captain Pirate demi mendapatkan hadiah dan gelar Scientist of The Year. Maka, dimulailah petualangan Captain Pirate dan krunya di tengah-tengah kota London.

5. Alfie, The Little Werewolf
ALFIE, THE LITTLE WEREWOLF
Best Children's Film (Tallin Black Nights Film Festival 2012)
& Best Audience Golden Film Award The Netherlands 2011


Alfie yang dicampakkan oleh orang tuanya diasuh oleh sebuah keluarga baik hati yang menemukan Alfie di depan pintu rumah mereka. Ngga disangka saat usia Alfie menginjak tujuh tahun, dia bisa berubah menjadi manusia serigala. Awalnya Alfie - yang selalu bersikap ramah dan dianggap nerd - sulit nerima perubahan itu, tapi perlahan bisa menerima sisi lain dari dirinya. Semua itu berkat dukungan dari keluarganya yang mau menerima Alfie apa adanya. Eniwei, selain ini adalah film keluarga yang bisa ditonton siapa aja, film ini juga cukup kocak karena kelakuan bokapnya Alfie yang aneh bin ajaib, hehehe... 

6. Klitschko
KLITSCHKO
Best Documentary Romy Gala, Austria 2012
Sebenarnya yang membuat saya terdorong menonton film ini adalah rasa penasaran ketika beberapa minggu lalu membaca berita politik soal kondisi di Ukraina dan salah satu alineanya menyebutkan tentang Vitali Klitschko, petinju profesional yang kini berkarir sebagai politikus. Maka, rasanya sayang untuk melewatkan film ini. Klitschko merupakan film dokumenter yang menceritakan perjalanan dua petinju bersaudara asal Ukraina, Vitali dan Wladimir Klitschko. Awalnya Vitali yang terjun ke ring tinju, lalu diikuti oleh adiknya Wladimir. Perjalanan hidup mereka dari kecil sampai perjuangan saat meniti karir di dunia pertinjuan dikupas di sini. Mulai dari gimana mereka harus berpindah-pindah tempat tinggal mengikuti ayahnya yang seorang tentara, perjalanan mendaki demi mendapat pengakuan dunia internasional sebagai petinju kelas berat yang disegani, masa kelam karir mereka, sampai bagaimana mereka bangkit kembali dari titik terendah itu.

Saya suka banget dengan apa yang dikatakan oleh Vitali saat menceritakan 'kejatuhan' karirnya. Saat itu dia baru saja mengundurkan diri di tengah pertandingan tinju melawan Chris Byrd karena cedera bahu, but most of the people said that he's a wimp because of that. Kepercayaan diri Vitali pun berada di titik paling bawah dalam hidupnya. Namun perkataan dari Max Schmelling (another boxer) membangkitkan semangatnya. Kira-kira kutipannya begini (seinget saya): You could hit rock bottom countless times, but the important thing is you never stay there. Jadi intinya mungkin saja kita akan menghadapi titik terendah dalam hidup, tapi yang penting adalah kita tidak berkubang didalamnya. Kita harus langsung bangkit dan semangat jalani hidup. Mendengar dorongan semangat itu, gambaran kekerasan dalam pertandingan tinju yang saya lihat sebelumnya langsung menguap. Setelah karir dua bersaudara Klitschko ini sempat menurun, mereka pun kembali lagi dengan kekuatan penuh demi mewujudkan mimpi mereka untuk menjadi dua bersaudara pertama yang memenangkan gelar juara dunia secara bersamaan. And they did it in 2008. Walau keluarga dan orang sekitarnya bilang kepada Klitschkos untuk menyerah saja, tapi Vitali dan Wladimir malah terus berjuang untuk mencatat sejarah baru tersebut. Jadi...Intinya adalah terus yakin dan kerja keras demi mewujudkan mimpi.

7. Final Cut - Ladies & Gentlemen
FINAL CUT – LADIES & GENTLEMEN

Film ini merupakan kolase potongan-potongan lebih dari 500 film, mulai dari film hitam putih-bisu di era yang entah kapan sampai film teranyar, Avatar. Saat membaca sinopsis filmnya di website Europe On Screen membuat saya penasaran untuk nonton film ini. Cuplikan-cuplikan film dijadikan satu film dalam rangkaian sebuah cerita. Kira-kira kayak apa yaaa?? Hehehe. Dan, ternyata emang keren. Salut untuk para editor dan sutradara yang kerja selama tiga tahun untuk mengedit film ini. Storyline film ini sebenarnya sederhana, dimana lelaki ketemu pasangannya, menikah, ada kesalahpahaman, lalu diakhiri dengan happy ending. Yang ga biasa adalah cerita itu dirangkai dari beberapa cuplikan film. Banyaaakkk jempol buat film maker-nya. Segala film dicampur jadi satu di sini, bahkan sampe film kartun pun juga ada, kayak Mr Incredible, Snow White, Sleeping Beauty. Film klasiknya Charlie Chaplin, Marilyn Monroe, dan all-time-movies kayak Sound of Music, Singing In The Rain, Forrest Gump. Ngga nyangka diantara segitu banyaknya film, pasti ada aja adegan yang sama. Bukan berarti juga saat nyuplik-nyuplik scene itu akan jadi cerita yang membosankan. Sutradara György Pálfi dan para editornya memasukkan adegan yang sukses bikin para penonton terbahak-bahak, seperti saat lagi adegan sedih dan galau, tiba-tiba ada Yoda-Star Wars disana dengan ekspresi sedih-galaunya juga. Atau lagi serius-seriusnya adegan, ternyata disambungin sama adegan kartun atau aksi kocaknya Charlie Chaplin. Hahahaha. Di setiap pergantian scene itu emang selalu ada aja element of surprise yang pada akhirnya membuat film ini tidak membosankan. Unpredictable and great movie, indeed.

PS: All pics from europeonscreen.org

Friday 2 May 2014

My Story: Bruno Mars Moonshine Jungle Tour 2014

Sebenernya ini tambahan cerita aja dari konser Bruno Mars Moonshine Jungle Tour 2014. Ngga terlalu banyak nyeritain konsernya karena udah banyak diulas media. Jadi...mending saya bagi dua, cerita pas konser (yang lebih banyak foto) dan cerita versi saya saat menjelang dan setelah konser. Buat yang hanya nyari tau inpo sikit-sikit soal konser Bruno Mars cukup stop di paragraf ini saja yooo...

So...let's start this absurd thingy :D Ketika tau Bruno Mars mau konser di Indonesia saat di penghujung 2013, adek saya, Venny udah rempong woro-woro ngasih tau saya untuk segera mesen tiketnya. Konsernya emang masih lama, di bulan Maret 2014, tapi pembelian tiketnya udah dibuka dari Desember 2013. Sebenernya saya udah mulai nyari tiket dari siang, tapi ternyata saat pesan via Dyandra ticket, ada masalah transfer. Daannn...saya baru tau kalau transaksi itu gagal saat di malam hari. Sooo...jadilah malam-malam saya dan Venny nyari tiket. Alhamdulillah akhirnya bisa kebeli walau harus pake kartu kredit dan ada charge sekitar 3 persen. Kami berdua memutuskan untuk beli tiket di kelas yang paling murah, dan pas liat seating map-nya di website ngerasa 'okelah ga apa, kayaknya jaraknya masih bisa ngeliat dari seat ke panggung'.
Jarak kursi saya dengan panggung. Jauh ya booo T_T
Ngga taunya jarak seat-panggung jauuuuhh sanggaaattt T_T. Maklum, konser terakhir yang saya sambangi adalah konser Blue yang venuenya di Istora. Dibanding sama MEIS yang segede gaban luasnya, Istora ga ada apa-apanya. Hiks...baiklah...

Hari H konser Bruno Mars Moonshine Jungle Tour (sayangnya) jatuh pada hari Senin, awal hari dari segudang aktivitas. Saya dan Venny janjian di Glodok jam 16.30 WIB. Langsung capcus ke Ancol, nyampe sana menjelang jam 5 lewat. Berhubung hari itu saya puasa, jadi nyari makanan dulu. FYI, MEIS terintegrasi dengan Ancol Beach City Mal. Jadi di sana cukup banyak tempat makan. Tapi karena resto disana ga ada yang sesuai dengan selera dan kantong :p, kami masuk ke Indomaret. Nyari makanan siap saji, yang tinggal diangetin di microwave. Sambil nunggu waktu buka puasa, saya dan Venny ke pinggir pantai yang pas ada di bagian belakang mal. Tapi...dari yang tadinya niat pengen nongkrong disana sampe waktu buka, ternyata gagal karena di deket tempat kita duduk banyak semutnyah...hadeuh.
Kongkow-kongkow ga jelas di pinggir pantai :p
Akhirnya memutuskan buat masuk ke dalam mal, nyari tempat duduk yang pewe, sekalian solat. Ternyata di deket musola ada pojokan yang enak buat ngedeprok sambil makan. Langsunglah kami menuju ke sudut itu. Pas nyampe di pojokan ternyata udah ada cowo cakep lagi berdiri di sana sambil maenan HP. Ngeliat tampangnya, kayaknya kenal. Setelah lima detik, baru ngeh. Ooohh iya..itu kan Andhika Pratama ya... Okay, akhirnya ga jadi mojok. Iiisshh masa iya, gw mo ngedeprok disana. Emang situ syapa? Hahaha *mintaditimpuk*
Mejeng dulu di depan pintu masuk venue :D

Jadi memutuskan untuk solat aja dulu. Selesai solat, ternyata pojokan itu udah sepi. Tanpa ba-bi-bu, jadi aja gitu saya ngegelosor disana sambil buka makanan yang tadi dibeli di Indomaret, hahaha. Ujung-ujungnya ngedeprok juga :D. Setelah selesai makan, rada bingung lagi mau kemana, secara di mal itu aja udah bosen, gitu-gitu mulu. Mau ke pantai udah gelap bo, ga ada yang bisa diliat. Akhirnya kami memutuskan untuk langsung masuk ke venue saat jam menunjukkan pukul 19.00 WIB karena kami memperkirakan konser akan dimulai pukul 20.00 WIB.

Ternyata...sampe jam 8 lewat konsernya belum mulai juga. Untuk menghilangkan kebosanan akhirnya kami memunculkan berbagai spekulasi kenapa konsernya belum mulai-mulai juga. Mulai dari si Bruno nyangkut di Gondola Ancol sampe harus ngayuh perahu ke Ancol demi menghindari kemacetan Jakarta :D. Ya, ide gila bisa bertebaran ketika rasa bosan udah sampe titik didihnya. Lagian, ga ada Opening Act-nya pula... Gimana ngga bosen? Beberapa kali yang di kelas Festival tereak-tereak ga jelas, kirain udah mo mulai, ternyata krunya lagi sound check aja. Huh..PHP (pemberi harapan palsu) deh...*langsung manyun lagi*


Adek saya, Venny, pose narsis dulu sebelum masuk venue :D
Sekitar jam 20.40 WIB penonton pun disuruh berdiri untuk nyanyi lagu kebangsaan Indonesia Raya. Penonton udah kesenengan, dikirain abis nyanyi Indonesia Raya konser akan langsung mulai. Ternyata engga dooonggg...Baru 20 menit kemudian itu konser mulai. Saat lampu mulai meredup, langsung deh itu lautan manusia menggila (termasuk saya :D). Jejingkrakan sepanjang konser.

Konser selesai sekitar pukul 22.30 WIB. Ga nyadar kalo udah malam dan itu hari Senin. OMG. Tanpa liat-liat yang jual merchandise Bruno Mars di pinggir jalan deket parkiran, saya dan Venny memutuskan untuk langsung pulang.

Setiap selesai konser manapun pasti jalanan keluar macet. Itu sudah hal yang lumrah. Saat kami baru beberapa meter keluar dari parkiran motor, jalanan di depan kami terhambat karena ada tukang ojek yang motornya lagi berenti, ditumpangi dua orang cewe yang keliatan lagi rempong, antara mau sendiri-sendiri ngojek apa nekat mau bertigaan naek motor. Akhirnya satu cewe yang duduk di belakang memilih untuk naik ojek yang lain. Pas cewe itu turun dari motor, baru keliatan muka cewe yang duduk di antara abang ojek dan cewe tadi. Ternyata...itu Marshanda, bo. Iyeee nyang maen di sinetron Bidadari yang jadul itu. Saya antara percaya-ga percaya. Itu si Caca bukan? Kok naek ojek? Tapi setelah diperhatiin emang bener sih. Baru kali itu saya liat ngartis naek ojek, hehehe. Mungkin si Caca pengen cepet pulang karena kan dia udah punya anak, yah, jadi pasti bawaannya pengen cepet-cepet pulang. Lagian kalo naek mobil saya ga tau deh itu baru pada bisa keluar Ancol jam berapa, secara untuk keluarnya aja macet banget. Beruntung saya naek motor, hehehe. Akhirnya...nyampe rumah hampir jam 12 malem. Sampe tempat tidur, langsung berasa deh itu badan pegel-pegel. Dan...besoknya saya bengek :p

Oia, sebagai tambahan inpo, saya tampilin juga perbandingan tiket 10 tahun yang lalu dengan sekarang. Sekaligus foto saat konser.
Harga tiket konser yang 10 tahun lalu saya tonton hanya seharga Rp 200 ribu aja
Kalau nonton di kelas Festival bisa dapet gambar lebih jelas kayak foto di atas