Wednesday 29 October 2014

My Impulsive Trip: Public Transportation in Bangkok & Pattaya

Perjalanan di Thailand diisi dengan berganti-ganti angkutan umum. Maklum, solo backpacking dan pengen ngirit jadilah angkutan umum itu pilihan utama. Ada beragam angkutan umum yang saya naiki saat di Bangkok dan Pattaya, tapi ada juga yang ga sempat dicobain. Dari 11 moda transportasi umum yang saya ketahui, saya hanya menaiki 9 diantaranya. Berikut adalah beberapa angkutan umum di Bangkok dan Pattaya:

1. Kereta Api

Di hari pertama saya memutuskan ke pusat kota Bangkok menggunakan kereta api. Tujuannya: Stasiun Hua Lamphong. Pas di sebrang Bandara Don Mueang ini ada stasiun kereta api. Untuk menuju ke sana dari bandara ada aksesnya langsung. Lokasinya dekat dengan Tourist Information Center, yang ada di sebelah kiri saat keluar dari pintu kedatangan. Arah ke stasiun kereta ada disebrang Tourist Information Center. Di sini saya agak bingung, karena langsung berhadapan dengan lift. Saya mikirnya dengan naik lift sampai lantai atas (lantai 3) akan langsung keliatan stasiun kereta. Tapi ternyata saya malah nyasar ke terminal keberangkatan. Sayangnya di dalam lift memang  ga ada petunjuk arah setiap lantai. Jadilah itu saya turun lagi pake lift dan memutuskan berhenti di lantai 2. Ternyata di lantai 2 itulah arah ke stasiun kereta yang sebenarnya. Ada lorong gelap disana, tanda petunjuknya mengarahkan ke stasiun kereta. Susuri aja lorong itu dan kamu akan diarahkan keluar bandara dan menyusuri jembatan yang ada di atas stasiun.
Kiri: Loket tiket dan tiket kereta api Don Mueang-Hua Lamphong
Kanan: View dari peron Stasiun Don Mueang
Sesampainya di stasiun pastikan ada di peron yang benar. Ada petunjuknya kok kalo mo ke Bangkok harus menunggu di peron nomor berapa. Saat turun dari jembatan, tepat di hadapan akan keliatan loket tiket. Bilang ke petugas kalo mo ke Bangkok dan dia akan kasih lembaran tiket. Harga tiket cukup murah, 5 baht saja. Ngga pake nomor tempat duduk, bebas aja milih tempat duduk.

Hari itu saya dapet kereta jam 11.19 (tertera di tiketnya). Saya pikir keretanya akan on time, tapi ternyata ngaret juga, sekitar 10 menit. Setelah naik kereta, saya menemukan suasana yang sama dengan di Indonesia. Mengingatkan saya akan kereta ekonomi. Tempat duduk saling berhadapan, kipas angin di atas, dan jendela lebar. Sejumlah pedagang asongan juga berlalu lalang di atas kereta, ada yang jual buah sampe manisan gulali nenek lampir.

Familiar sama suasana di atas?
Melihat pemandangan di luar juga mengingatkan saya akan Jakarta. Sama persis. Rumah-rumah di pinggir rel kereta, tumpukan sampah dan stasiun yang seadanya. Jujur, walau saya baru meninggalkan Jakarta beberapa jam saja, saya saat itu malah jadi kangen dan pengen pulang lagi, hahahaha.

Naik kereta ke Hua Lamphong membutuhkan waktu 1 jam. Ada lebih dari enam stasiun yang akan dilewati. Stasiun Hua Lamphong adalah stasiun terakhir kereta, jadi ga usah kuatir akan kelewatan. Saat ngeliat orang-orang pada bersiap turun semua, itu tandanya sudah sampai (ya iyalah, emang mau nginep?:p).


Sesampainya di stasiun Hua Lamphong, saya langsung nyari Tourist Information Center lagi buat nanya letak stasiun MRT. Tourist Information Hua Lamphong ada di sebelah kiri pintu keluar. Setelah nanya sama petugas, ternyata stasiun MRT ada pas sebelah kanan dari pintu keluar stasiun kereta. Saat menyusuri jalan berbelok ke kanan akan langsung keliatan eskalator ke MRT.


2. MRT

Saya selalu suka jika ada pilihan transportasi naik kereta karena lebih cepat dan nyaman (asal jangan pas rush hour di Commuter Line aja, bisa kayak pepes penumpangnya) daripada naik bis. Karena itu, saya selalu iri dengan negara yang punya angkutan massal semacam MRT. Iya sih Indonesia punya Commuter Line, tapi itu belum menjadi moda transportasi yang efektif untuk mengatasi masalah kemacetan dan mobilitas tinggi yang ada di pusat kota. Alhamdulillah sekarang pemprov DKI Jakarta lagi mulai proyek MRT, walau baru sebatas Lebak Bulus-Bunderan HI tapi lumayan lah daripada hanya sekedar blue print. Karena itu, saat di Bangkok ada MRT dan BTS, saya lebih mengutamakan dua moda transportasi itu.

MRT = Metropolitan Rapid Transit. Di Bangkok seluruh jalur MRT ada di bawah tanah. Tiketnya bisa dibeli lewat mesin tiket yang ada di stasiun. Kalau uangnya bernominal besar, kita bisa membeli tiket di loket. Bentuk tiket MRT di Bangkok agak unik, yaitu sekeping koin hitam. Di pintu masuk kita tinggal men-tap koin, lalu di stasiun tujuan masukkan koin di tempat yang ada di palang pintu keluar.

Lokasi MRT yang ada di bawah tanah ngebuat saya sebenernya rada bosan karena ga ada pemandangan sama sekali yang bisa diliat. Menjelang tempat pemberhentian, kereta pun akan mengumumkan stasiun berikutnya. Dalam bahasa Thailand aja? Ya, nggak lah. Semua turis bisa amsyong dan kesasar entah kemana kalo cuma pake bahasa Thai aja. Ada bahasa Inggris-nya kok. Jadi simak baik-baik setiap pengumuman yang terdengar di kereta ya.

3. Bangkok Mass Transit System (BTS)


Kereta BTS ga jauh beda sama kereta MRT. Yang membedakannya, seluruh jalur BTS merupakan flyover. Beda dengan MRT yang pemandangannya cuma stasiun dan terowongan yang gelap dan suram, dari BTS ini kita bisa melihat sekelumit tempat-tempat yang ada di sekitaran Bangkok. Keretanya juga datang cukup sering, headway-nya antara 3-5 menit. Sementara, di waktu rush hour bisa dateng 1-2 menit. Jadi saat rush hour kereta ngga penuh-penuh amat sama penumpang. Yang jelas masih bisa bernapas dan ga kayak pepes *catet*. Di BTS ini juga ada pengumuman berbahasa Inggris menjelang setiap stasiun, jadi ga usah kuatir akan kelewatan stasiunnya.

Di stasiun BTS ini kalau kita ga punya uang receh buat beli tiket, kita bisa nuker uang di loket. Nah, beda sama di MRT dimana kita bisa beli langsung koinnya melalui loket, di stasiun BTS ini kita harus balik lagi ke mesin tiket untuk beli tiketnya sendiri. Rada rempong sih ye bolak balik begitu. Ini saya alami ketika mau pulang ke hostel dari Asiatique. Di stasiun Saphan Taksin ini saya berbarengan dengan orang-orang lainnya yang abis turun dari shuttle boat Asiatique, jadi bisa ditebaklah gimana ramenya stasiun itu. Yang punya uang pas bisa langsung antri di mesin tiket, tapi ternyata saat itu banyak juga yang lagi antri di loket untuk nukerin uang. Jadi agak hectic.

Abis dari loket nukerin uang, langsung deh pada berbondong-bondong nyari antrian mesin tiket yang paling lowong, demi cepat dapat tiket dan ngejar kereta yang mau datang. Soalnya kalau pas udah malam gitu, keretanya udah mulai agak-agak jarang. Kan males nunggu lama, hehehe.


4. Bis Kota
Bis di Thailand bisa dibilang mirip kayak bis PPD di Indonesia, tapi ukurannya sedikit lebih kecil. Yang bisa bikin lieur saat memutuskan ingin naik bis adalah rute bisnya semua ditulis dalam bahasa Thailand! Bikin manyun ga, tuh? Tapi tenang aja karena kita punya angka yang telah disepakati sejagat dunia ini. Jadi saat naik bis kota di Bangkok, cari taulah lebih dulu nomor bis dan rutenya kemana aja.

Saya berkesempatan naik bis saat menuju Vimanmek dan saat pulang menuju bandara. Bis yang saya naiki untuk ke Vimanmek adalah bis 108. Bisnya ber-AC, bayar 12 baht. Saya memang sengaja milih yang AC karena cuaca sedang panas saat itu. Kalau mau yang bis non AC juga ada kok. Harga tiketnya kalau ga salah, kurang dari 10 baht.

Terus bayar ongkos bisnya gimana? Tenang. Ada kondektur yang akan meminta ongkos. Setelah bayar ongkos, kita akan dikasih secarik kertas karcis kecil sebagai bukti pembayaran. Yang menarik dari bis di Bangkok adalah kondekturnya membawa kaleng lonjong yang terbagi dua dan terdiri dari beberapa sekat di dalamnya. Itu adalah tempat uang receh ongkos dari penumpang, uang receh kembalian, dan gulungan tiket karcis bis. Jadi saat penumpang sudah bayar, kondektur akan menyobek karcis bis dari gulungan, dengan tepi kaleng menjadi penyobek otomatis gulungan karcis. Jadi kalau kita mau dimintain ongkos, kondektur akan nyamperin sambil ngegoyang kaleng itu. Krincing..krincing.. Menarik banget deh ngeliatnya, hehehe.

Kesempatan kedua saya naik bis adalah di hari terakhir saya di Thailand, saat menuju Bandara Don Mueang. Dari Terminal Hua Lamphong, saya menunggu bis 29. Tadinya mau naik yang AC, tapi karena bis non AC datang duluan jadinya naik itu deh. Daripada telat dan ketinggalan pesawat kan ya.. Ongkos Hua Lamphong-Don Mueang dengan bis non AC hanya bertarif 6,5 baht saja, untuk perjalanan selama 1 jam, sodara-sodara… Murah banget ya, bo. Seneng deh, hahaha.

Saat naik bis 29 ini saya jadi tau kalo ternyata rute bis ini juga melewati halte Chatuchak. Wilayah yang terkenal dengan weekend market-nya. Duh, kalau ga inget jadwal penerbangan yang mepet dan bawaan yang segambreng, mau deh turun di situ dan mampir sebentar. Bener-bener deh itu godaan syaiton banget, karena sempet mikir, “Eeehhh, ternyata Chatuchak sejalur sama arah ke bandara. Duh apa turun aja dulu ya, ngeliat-ngeliat bentaaarrr ajaaa”. Apalagi, pas ngeliat orang-orang pada jalan ke arah pasarnya. Hahaha. Paraaaahhh… Untunglah saya masih berpikiran jernih :p. Next time, I’ll have a visit to Chatuchak!

Terus, turun dari bisnya harus gimana? Bilang aja ke kondektur atau supir pas awal kita naik bis. Seperti yang saya lakukan ketika mau ke Vimanmek, sebelum naik bis saya bertanya ke kondektur untuk memastikan apakah bisnya ngelewatin Vimanmek. Ketika dia bilang lewat Vimanmek, kasih tau aja kalau kita mau kesana dan minta tolong untuk dikasih tau turunnya kalau sudah dekat lokasi.

Namun, hal lain yang harus diperhatikan adalah jangan terlalu menggantungkan diri kepada kondektur/sopir. Walau kita sudah ngasih tau, mereka bisa saja kelupaan. Seperti saat saya naik bis 29 ke Don Mueang. Setelah hampir 1 jam perjalanan, saya melihat bangunan bea cukai bandara di sisi kanan, dan saya jadi ngeh kalau saat itu bandara pasti sudah dekat. Beberapa menit kemudian, kelihatan deh gedung bandara di sebelah kanan, tapi bis ngga menunjukkan tanda-tanda akan memperlambat lajunya. Saat saya ngeliat di sebelah kiri, keliatan ada halte dan jembatan yang mirip dengan jembatan yang menghubungkan Stasiun Don Mueng dengan Bandara. Akhirnya, secepat kilat saya pun menghampiri supir dan bilang, “Airport!”. Sang supir pun langsung menghentikan bis dan nyengir ke arah saya. Duh, hampir aja kebawa entah sampai mana, hahaha.

Jadi kalau naik bis di tempat yang masih asing, jangan bengong atau tidur ya…:D Perhatikan jalanan di sekitar. Dengan naik bis sambil liat pemandangan di sekitar, kita jadi bisa tau tempat-tempat apa aja sih yang dilewatin bis. Siapa tau ada tempat menarik yang dilewatin.

Ohya, setiap bis di Bangkok berhenti di halte, jadi tidak berhenti di sembarang tempat ya..Terus, apa bedanya bis AC dan non AC di Bangkok? Ya, yang satu ada AC, yang satu ngga *minta dijitak* :p. Tapi, bedanya emang ga jauh kok. Bener deh. Yang AC emang lebih rapih dan bersih sih daripada yang non AC, tapi bedanya ga terlalu jauh.


5. Taksi

Taksi di Bangkok sangat beragam. Dari segi warna taksi sampai tarif taksi yang ajaib. Warna mobil taksi ada yang standar kayak warna putih sampai yang pink. Sementara, taksi di Pattaya hadir dalam bentuk berbeda. Jika di Bangkok sebagian besar taksi yang saya temui adalah mobil sedan, di Pattaya taksi hadir dalam bentuk Kijang Innova bahkan Fortuner. Jarang keliatan ada taksi mobil sedan di Pattaya.

Nah, kalau soal tarif taksinya juga berbeda-beda karena ada sopir taksi bandel yang ga mau pake argometer saat bawa penumpang. Setau saya, ga ada perusahaan taksi di sana yang bisa diandalkan dalam urusan memakai argometer. Beda dengan di Indonesia, dimana grup taksi Blue Bird jadi rekomendasi banyak orang.

Jadi pastikan saat naik taksi kita nanya pake argometer atau ngga? Kalau ngga, cari aja taksi lain yang mau pake argo. Pertama kalinya saya naik taksi di Bangkok adalah dari Siam Paragon ke Grand Palace. Setelah ngecek taksinya pake argometer, langsung deh naik. Taksinya sih standar aja, bersih dan AC-nya berasa. Tapi, secara keseluruhan menurut saya, taksi Blue Bird lebih bagus.

Eniwei, perjalanan kedua dengan taksi dilakukan dalam perjalanan singkat dari Grand Palace menuju Tha Tien Pier (dermaga untuk menuju ke Wat Arun). Ga pake argo. Terus, kenapa nekat naik taksi? Karena saya share cost dengan Tira dan Lia dan hanya bayar 40 baht untuk menempuh jarak kurang lebih 1 kilometer. Jadi daripada jalan kaki di tengah cuaca yang terik, kami memilih naik taksi #manja.

Saat naik taksi kedua inilah kami nyaris kena scam. Supir taksi bilang kalau Wat Arun tutup, dan dia malah ngasih alternatif untuk ngajak kami ke toko-toko emas ngga jelas. Kejadian itu udah saya ceritain di SINI. Jadi, emang kudu hati-hati juga saat naik taksi ya..Jangan ngerasa ga enak untuk bilang dengan tegas kalau kita ga mau ke suatu tempat yang memang tidak kita inginkan dan tidak direkomendasi banyak orang. Langsung aja bayar ongkos yang sudah disepakati dan segera keluar dari taksi.

Nah, pengalaman terakhir saya naik taksi di Bangkok ditutup dengan kejadian tidak menyenangkan. Akhirnya kami (saya, Tira dan Lia) kena juga jeratan ongkos taksi yang mencekik kantong. Usai berbelanja di MBK, kami memutuskan naik taksi. Salahnya, kami semua lupa untuk nanya apakah pakai argometer atau ga? Langsung aja gitu masuk ke taksi, secara udah malam dan capek banget. Dan, kami baru nyadar saat ngeliat argometernya ga dihidupin sama si supir taksi. Perasaan langsung ga enak. Dan, bener aja, kami ‘diperas’ suruh bayar 400 baht untuk perjalanan sekitar 15 menit. Huhuhu… Lesson learned: Selalu tanya supir taksi, apakah pasang argometer atau ga!

6. Bis Antar Kota

Kiri: Behind the bus driver. Kanan: Tiket bis Pattaya-Ekkamai
Saya berkesempatan naik bis ini saat menuju Pattaya dari Terminal Ekkamai. Bisnya AC kayak Damri. Masing-masing sisi kanan-kiri bis diisi dengan bangku untuk dua penumpang. Ada tempat tas di atas bangku. Untuk naik bis ini hanya tersedia di terminal-terminal yang telah ditetapkan. Jam berangkatnya pun sudah ada dan on time. Tiketnya beli di loket terminal. Saat menuju bis, kasih tiketnya ke kondektur yang menunggu di depan pintu bis untuk disobek tiketnya yang bagian untuk perusahaan bis, dan simpan sisa tiketnya sebagai cenderamata bukti pembelian.

Bis ini cukup nyaman dan tidak sembarang menaikkan penumpang. Penumpang hanya bisa naik dari terminal, atau pool bis. Pada perjalanan Bangkok-Pattaya bis sempat ngetem sekitar 10 menit di pool bis untuk mengambil penumpang yang menunggu di sana. Setelah itu, bis tidak menaikkan penumpang lagi sepanjang perjalanan. Baru saat memasuki Pattaya, ada beberapa penumpang yang turun di berbagai tempat. Jadi, tidak harus turun di terminal. Mirip kayak Damri, kan.. Cuma bedanya Damri masih bisa naikin penumpang di mana aja asal belum masuk tol, hehehe.

7. Tuktuk
Tuktuk ini saudara sepersusuan sama bajaj *sotoy*. Sama-sama beroda tiga, supirnya punya teritori sendiri di bagian depan, dan tempat duduk penumpang ada di bagian belakang. Bedanya tuktuk punya bodi yang lebih terbuka daripada bajaj yang agak tertutup (ini ngomongin moda transportasi apa gaya berpakaian?:p). Maksutnya, kalau di bajaj kan penumpang hanya bisa masuk melalui satu pintu, nah kalau di tuktuk, penumpang bisa masuk dari kanan atau kiri. Bagian belakang tuktuk pun terbuka. Gimana kalau hujan? Tinggal buka saja tirai yang tergulung di bagian belakang, kanan dan kiri. Pokoknya jadi rada lebih rempong deh kalo ujan, hehehe.

Terus apa enaknya naik tuktuk? Tuktuk ini ahlinya nyalip dan bisa masuk ke jalan-jalan kecil, sama kayak bajaj. Jadi bisa lebih cepat sampai tujuan, hehehe. Kita juga bisa nawar tarif ke abang tuktuk, jadi kalau nawarnya bener, kita bisa dapet tarif yang lebih murah daripada naik taksi. Pastikan aja dulu nanya ke orang-orang lokal, kira-kira berapa tarif dari A ke B, jadi kita udah tau duluan standar tarif ke tempat tujuan dan jadi bisa nawar ke abang tuktuk.

8. Ojek (Motorcycle Taxi)
Di saat minim pilihan transportasi dan Anda ingin cepat sampai tujuan, ojek bisa jadi pilihan. Saya baru naik ojek ketika di Pattaya. Beda dengan Bangkok yang transportasinya lebih terintegrasi, di Pattaya hanya ada songthaew, taksi dan ojek. Seingat saya, saya tidak menemukan tuktuk disana. CMIIW. Anyway, pengalaman naik ojek di Pattaya sebenernya sama aja kayak naik ojek di Jakarta. Ngebut, jago nyalip dan tau jalan-jalan tikus. Bedanya saat saya naik ojek di Pattaya, saya ga pake helm sama sekali karena emang ga disediain helm buat penumpang. Cuma tukang ojeknya aja yang pake helm. Rada ngeri sebenernya pas naik ojek di sana. Apalagi pas dibawa ngebut sama si abang ojek. Komat-kamit baca doa sepanjang perjalanan, heuheu.

Yang pasti saat naik ojek teteup harus upayakan tawar menawar, ya… Cari tau dulu tarif standar di sana lewat browsing atau tanya orang lokal, atau kira-kira aja sendiri tarif sama jarak yang ditempuh. Seperti saat saya ke Mini Siam dari terminal Pattaya, saya browsing dulu nyari tarif ojek. Rata-rata merekomendasikan 100 baht, tapi saya tawar jadi sekitar 80 baht dan deal. Namun, saat dari 2nd Pattaya Road mau ke terminal Pattaya, saya ngira-ngira aja tarifnya karena sebelumnya udah lewat jalan itu saat mau ke Pattaya Beach dari Mini Siam.

9. Kapal/Shuttle Boat

Moda transportasi ini jadi andalan melintasi sungai Chao Phraya. Sebenarnya saya bisa dibilang ga terlalu purna juga nyobain kapal feri di Bangkok, karena cuma nyobain kapal penyebrangan dari Tha Tien Pier ke Wat Arun yang jaraknya hanya saling bersebrangan, dan shuttle boat gratisan Asiatique dari Central Pier. Jadi ngerasa belum maksimal aja nyobain kapal feri karena emang ga naik kapal feri standar yang berhenti di setiap dermaga dan ditagih ongkos di atas kapal. Namun dari pengalaman yang saya dapat dari dua kali naik kapal melintasi Chao Phraya, saya cukup terkesan dengan alternatif transportasi satu ini. Cukup cepat dan yang pasti bebas macet, walau agak ngeri ngeliat sungai yang keliatan dalam itu. Saya pun jadi berandai andaikan sungai Ciliwung Jakarta bisa dimanfaatkan sebagai salah satu jalur transportasi pasti jadi alternatif transportasi yang asik.


Selain moda transportasi yang saya bahas di atas sebenernya ada dua lagi transportasi umum yang belum saya coba, yaitu songthaew dan khlong boat. So, here it is:

10. Songthaew

Moda transportasi ini bisa ditemukan di Pattaya. Ada beberapa alasan saya memutuskan ga mencoba songthaew. Pertama, rute songthaew ga jelas tertera di bagian mobilnya, jadi saya kuatir nyasar padahal waktu saya ga banyak di Pattaya. Emang sih kalau dirasa nyasar mah tinggal balik aja lagi ke rute sebelumnya atau nanya ke supir. Biasanya saya juga ga terlalu mempermasalahkan banget kalau ternyata nyasar. Itung-itung pengalaman. Selain itu, kita juga jadi belajar mengetahui rute dan tempat di suatu daerah. Agak deg-degan kalau nyasar, tapi kalau udah nemu tempat yang kita tuju pada akhirnya itu tuh rasanya senang banget. Sensasi itu yang saya suka dari pengalaman nyasar, hehehe. Namun, ya itu tadi, karena waktu saya di Pattaya hanya sedikit, maka saya memutuskan ga akan nyasar hari itu.


Alasan kedua ngga nyoba songthaew adalah karena bingung saat mau bilang ‘Stop!’ ke sang supir dan tarif standarnya, hahaha. Alasan yang dibuat-buat sebenernya, soalnya kan kita tinggal merhatiin penumpang lainnya aja pas mereka mau turun, ya... Tapi, alasan itu emang sempet melintas di pikiran saya: “Songthaew kan kayak omprengan ya, terbuka gitu mobilnya, tapi ga ada kenek sama sekali yang nagihin ongkos atau yang bisa ditanya-tanya soal tempat-tempat di Pattaya, terus gimana cara ngomongnya kalau kita mau berenti di suatu tempat? Masa bilang ‘Kiri, bang!’ (ini ga mungkin banget :p) atau gedor-gedor plafon mobil terus tereak ‘Stop! Stop! (ini udah kayak di mikrolet, hehehe)”. Selain itu, saya juga ga tau tarif standarnya dari A ke B tu berapa. Sempet browsing sih katanya cukup bayar 20 baht aja, dan malah ada yang cuma bayar 4 baht karena disangka orang Thailand, hihihi, tapi karena ngerasa kurang sreg akhirnya memutuskan untuk ga nyobain songthaew.

Alasan terakhir ga naek songthaew adalah: songthaew itu rata-rata dinaikin sama rombongan turis yang keliatan seperti mereka telah menyewa songthaew itu untuk mereka sendiri. Ga enak kan kalau ternyata songthaew yang disetopin udah dicarter. Ada sih songthaew yang agak kosong dan kelihatan nungguin penumpang, tapi saya ragu untuk naik karena ga tau rutenya dan kuatir songthaew akan ngetem lama di tempat itu. Agak nyesel sebenernya ga nyobain naik songthaew. Lain kali kalau saya punya waktu lebih banyak di Pattaya, saya akan nyoba muterin Pattaya naik songthaew! :D

11. Khlong Boat
Khlong Boat ini adalah sampan kecil yang melintasi kanal-kanal di kota Bangkok. Salah satu rute yang dilewati sampan itu adalah Pratunam. Karena saya ngga nginep di sekitaran wilayah itu jadilah ga nyobain juga naik sampan yang disebut khlong boat ini.