Wednesday 28 February 2018

My Journey Through Pregnancy: Hope, Pray, Ikhtiar

Saat sudah menikah, biasanya pertanyaan selanjutnya yang muncul dari orang-orang adalah, “Udah hamil belum?”.  Itu kayaknya udah jadi pertanyaan default ya, heuheu. Saat saya menikah September 2016 lalu, pertanyaan itu juga kerap menghampiri saat ketemu keluarga atau teman. Namun, kalau yang namanya kehamilan itu kan Allah juga yang menentukan rejekinya, selain kita sebagai manusia juga terus berusaha dan berdoa tentunya.

Nah, salah satu bentuk ikhtiar saya agar hamil adalah dengan meminum madu setiap habis solat subuh. Madunya pun bukan madu yang katanya berkhasiat agar cepat mengandung. Saya hanya minum madu yang dibeli dari supermarket. Madu murni biasa.

Selain itu, saya juga minum susu persiapan kehamilan setiap malam. Saya memilih Prenagen Esensis rasa coklat. Ada orang yang nggak suka dengan susu persiapan kehamilan karena katanya bikin eneg. Tapi, Alhamdulillah saya ngerasa enjoy aja. Anggep aja kayak minum susu biasa di malam hari sebelum tidur. Hehehe.

Selain minum susu dan madu, saya juga udah nggak pergi ke klinik perawatan kulit lagi. Saat krim dokter udah habis, saya nggak dateng-dateng lagi kontrol kulit karena katanya krim dokter bisa mempengaruhi upaya kehamilan. Nggak tau bener apa nggak. Tapi, saya anggap itu sebagai salah satu ikhtiar saya agar hamil. Waktu pertama kali lepas dari krim dokter, tentu aja muka rada ancur, heuheu. Jerawatan dimana-mana. Tapi, saya cuek. Entah orang mo ngomong apa, yang jelas saya tetap pada ikhtiar saya. Krim dokter diganti dengan krim biasa saja.

Upaya lainnya adalah dengan rajin menghitung masa subur setiap bulan. Setiap bulan, siklus saya berbeda meski masih dianggap dalam rentang siklus yang normal. Ada masa siklus 25 hari, kemudian mundur 1-2 hari. Sampai saya pernah telat selama lima hari dan sudah berharap bahwa saya hamil.

Saya inget banget kala itu di bulan puasa 2017. Sudah telat lima hari dari siklus haid. Harapan membumbung. Namun, ketika sampai kantor dan saat ke WC ternyata saya menstruasi, saya langsung nangis. It hit me hard. Karena saya nggak berasa mules seperti mau haid. Jadi saya nggak expect kalau ternyata saya belum hamil.

Setelah menenangkan diri dan kembali ke meja kantor, saya langsung whatsapp suami dan bilang kalau siklus menstruasi sudah datang (sambil nahan nangis tentunya, heuheu). Balasan pak suami kira-kira begini, “Aku kira kamu hamil, udah telat haid kan”. Dan.. nggak tau kenapa saat baca WA itu, saya langsung nangis lagi. Sesenggukan. I feel like I let him down. Seharian saya nangis di kantor sambil kerja. Sampai saat pulang dan dijemput suami, air mata nggak mau berhenti turun. Pokoknya saya murung seharian itu.

Entah karena saya emang pinter banget menutupi tangisan, atau emang pak suami lagi ga sensitif, dia kayaknya nggak nyadar kalau saya terus menitikkan air mata sepanjang perjalanan pulang ke rumah. Sampai pas saatnya mau tidur, saya bilang kalau tadi seharian saya nangis di kantor. Dan..langsung saat itu juga saya nangis lagi, heuheu. Setelah curhat apa yang saya rasain seharian itu, in the end, he calms me down. Rejeki nggak akan kemana. Udah ditentukan sama Allah. Kita sebagai manusia hanya bisa berusaha dan berdoa.

Usai drama seharian itu, esoknya saya udah bisa nerima. Ya mungkin belum waktunya saja. Allah pasti tahu kapan waktu yang terbaik untuk memberikan amanah kepada kami berdua. Saya udah bisa pasrah dan nerimo. Hari-hari pun kemudian berjalan seperti biasa. Upaya ikhtiar seperti sebelum-sebelumnya tetap saya lakukan. Berdoa dan berusaha.

Sampai ketika di bulan berikutnya, pas setelah libur lebaran, suami dapet tugas audit ke Bali selama 2 minggu. Saat dia sedang bertugas, siklus haid saya sudah seharusnya tiba. Tapi, lagi-lagi saat itu saya telat. Sudah telat lima hari seperti sebelumnya tapi saya nggak mau kepedean lagi seperti sebelumnya. Mikirnya paling juga sama kayak bulan lalu. Tapi, siklusnya kemudian sudah telat selama seminggu. Saya jadi kuatir itu bukan hamil dan merupakan suatu indikasi penyakit.


Saat sudah lebih dari seminggu, suami nyeletuk, “Jangan-jangan kamu hamil”. Begitu juga ketika saya cerita ke adek. Komentarnya juga sama. Tapi, lagi-lagi saya nggak mau berharap. Saya memilih menunggu sampai dua minggu dan suami balik dari Bali buat test pack. Saya sendiri sebenernya udah nggak sabar pengen test pack, pengen tau sebenernya hamil atau nggak. Kalau ternyata hamil, Alhamdulillah, tapi kalau nggak, ya sudah. Jadi ya pasrah aja.

Dua minggu berlalu, suami udah kembali ke Jakarta, saya langsung nitip beli testpack ke suami yang sedang pergi ke supermarket. Suami udah beli testpack dari malam sebelumnya, tetapi saya menunggu sampai saat subuh tiba karena katanya hasil tes kehamilan lebih akurat kalau dilakukan di pagi hari.


Esoknya sebelum solat subuh, saya ke kamar mandi sambil bawa testpack. Deg-degan rasanya. Kuatir kalau harapan saya pupus. Saat menunggu hasil testpack yang hanya kira-kira semenit itu rasanya seabad lamanya (lebay :p). Pas ngeliat ada strip dua di testpack, saya mulai menangis. Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah. Apa yang saya harapkan terkabul.

Tepat sebulan lalu ketika saya mengalami breakdown, Allah begitu cepat mengabulkan doa saya di bulan berikutnya. Nggak nyangka dengan rizki yang sudah Allah berikan. My patience has paid off. Memang rizki akan datang kapan saja dan dimana saja jika Allah sudah menghendaki. Sebagai umat manusia tentu hanya bisa berdoa, bersabar dan berusaha.

Terus gimana rasanya hamil untuk pertama kalinya? Alhamdulillah jabang bayi ngga rewel. Cerita lengkapnya nanti di postingan selanjutnya, yaa...