Wednesday 13 July 2011

My First Adventure Alone - Destination: Wakatobi, First Stop: Makassar-Gowa

Hampir dua tahun lalu saya nekat backpacking sendirian dengan tujuan akhir Wakatobi. Yup..I know it's too late, but I just want to share. Penat setelah hampir dua tahun bekerja tanpa cuti membuat saya mengambil keputusan untuk berlibur.

Entah kenapa tiba-tiba saat itu saya kepengeeeennn banget ke pantai. Tapi bukan pantai Ancol atau Parangtritis. Saya pengennya ke pantai yang airnya masih bening, bisa sambil nyelam atau snorkeling. Ngga kepengen juga ke Kepulauan Seribu. Masih terlalu dekat sama Jakarta. Ngga kepengen juga ke Karimun Jawa, karena masih ada di pulau Jawa.  Entah 'setan' apa yang sedang lewat di pikiran saya ketika itu, pokoknya saya pengen pergi liburan jauuuhh dari Jakarta.

Diiringi dengan niat itulah, saya langsung konsul sama mbah Google. Dari sana muncullah 'Wakatobi'. Ngeliat gambar keindahan bawah lautnya, terumbu karang dan ikan warna warni ngebuat saya ngiler pengen ke sana. Niat pun tercetus. (Padahal belum tau lokasinya ada dimana?  Edan!).

Pas searching lebih lanjut, baru ketauan ternyata Wakatobi itu masuk Sulawesi Tenggara. Weitsss, jauh juga... Dari awal emang pengen pergi liburan jauh dari Jakarta, tapi nggak nyangka aja jauhnya sampe melintasi zona waktu. Sempat bimbang, gelisah, mondar-mandir bolak balik ke WC (yang terakhir ini lebay :p). Akhirnya saya putuskan buat tetep pergi ke sana. Saya juga akhirnya ngajak-ngajak temen buat nemenin saya ke Wakatobi (biar biaya nginep bisa lebih irit), tapi ternyata nggak ada yang bisa. Hiks.. Tapi karena saya udah pusiiing banget sama kerjaan, akhirnya saya nekat pergi sendirian.

Selama beberapa minggu sebelum saya memutuskan cuti, saya search opsi-opsi transportasi dan akomodasi untuk menuju Wakatobi. Tung-itung-itung ternyata bisa sampe Rp 3,5 juta buat nginep selama tiga hari, tiket pp ke Kendari, sama tiket kapal ke Wakatobi. Saya jumlahin dana itu dari hasil search di blog orang yang sudah pernah ke sana. Lupa kalo harganya bisa aja naek (Dodol!).

Ternyata bener aja, waktu mo booking harga tiket pesawat ke Kendari udah naek jadi dua kali lipatnya (OMG!). Yah..mungkin harga tiket di blog itu adalah harga promo yang udah dipesen beberapa bulan sebelumnya, sementara saya pengen perginya dalam waktu dekat. Jadi wajar aja harga tiketnya jadi mahal. Duh, ketauan banget backpacker amatiran-nya.

Eniwei, akhirnya saya cari alternatif lain untuk menuju Wakatobi dan menemukan blog yang cerita kalau ke Wakatobi bisa juga ditempuh dengan ke Makasar dulu. Dari sana naik kapal feri ke Baubau terus lanjut ke Wanci. Setelah diitung-itung ternyata lebih murah dengan cara seperti itu (Kali ini saya udah cek harga tiketnya). Ngga masalah agak muter-muter dan waktunya jadi lama, yang penting IRIT! Lagian saya juga liburan santai aja, ngga dikejar deadline toh...

Oke, transportasi udah ditetapkan. Giliran tempat nginep yang mesti dipikirin. Di Makasar saya ngga perlu pusing karena ada sepupu yang tinggal di sana. Untuk Wakatobi, saya search info ada penginapan yang harganya 60 ribu semalem. Sip! Tapi walau sebenernya transportasi dan tempat penginapan udah beres, saya mesti nyiapin juga kalau ke Wakatobi tempat sewa peralatan snorkeling atau selam mesti kemana. Walau udah search di internet tapi tetep aja merasa kurang pede. Sampai akhirnya saya keinget, saya punya teman orang Kendari! Namanya Kak Kiki (mentor saya waktu job training kuliah di KBR 68H). Setelah ngubek-ngubek notes andalan, Alhamdulillah saya nemu nomor teleponnya. Weisss..udah hampir tiga tahun saya ngga pernah ketemu dengan Kak Kiki, kira-kira orangnya masih inget ngga ya? Dulu kan saya masih cupu dan polos, hehehehe..

Akhir kata, saya hubungi Kak Kiki. Sempat waswas nomornya udah ganti. Alhamdulillah lagi, ternyata nomornya masih sama. Waktu diangkat dan saya memperkenalkan diri, ternyata Kak Kiki masih inget..Alhamdulillah. Setelah ngomongin pekerjaan, saya ngasih tau ke Kak Kiki soal rencana liburan saya. Ngga disangka, ternyata Kak Kiki punya teman di Wakatobi dan Baubau, jadi saya bisa dibantu soal tempat menginap dan transportasi selama disana. Hwaaahhh Alhamdulillah bangeettttt...! I owe you so much, Kak Kiki..

16 November 2009 menjadi awal petualangan saya selama kurang lebih lima hari ke depan. Berangkat dari Soekarno Hatta subuh-subuh menggunakan Sriwijaya Air. Mendarat di Makasar masih sekitaran 09.00 WITA, saya sudah ditunggu oleh kerabat di Bandara Sultan Hasanudin. Btw, ngomongin bandara Sultan Hasanuddin, saya amazed banget sama bangunannya yang sebagian besar dikasih kaca-kaca. It looks classy. Bersih dan cukup teratur.

Sesampainya di bandara Hasanuddin, saya berkenalan dengan sepupu kakak ipar, Kak Cacy, karena sepupu saya masih bekerja mengajar di SMK. Ngomong-ngomong baru kali itu saya menjejakkan kaki di Tanah Makasar. Keluar Bandara, mobil melaju masuk tol. Sepanjang perjalanan, mata saya tak terlepas memandang keluar jendela. Sudah menjadi kebiasaan saya melihat sekeliling dan mencoba mengingat tempat-tempat yang dilewati, mulai dari Dinas-dinas setempat, kantor DPRD, sekolah, sampai hotel dan pusat perbelanjaan. Secara garis besar, kesibukan kota Makasar hampir sama dengan kota-kota lainnya di Indonesia. Saya cuma asik sendiri saja melihat sekeliling, walau pemandangannya ngga beda jauh sama kota lain.

Pemberhentian pertama di Makasar, saya diajak sepupu mencicipi Coto Makasar. Hmm baru kali ini juga saya mencicipi masakan khas Makasar. Warungnya sederhana hanya berbilik bambu, tapi ramai. Coto Makasar ini berbahan dasar jeroan sapi dan dagingnya. Waktu ditanya saya pingin Coto yang isinya otak atau paru, saya malah bilang, "Bisa isinya daging semua ngga?". Hahahaha..saya ngga terlalu suka sama jeroan, apalagi otak.Yang cukup menarik adalah Coto Makasar ini dimakan sama ketupat atau lontong, bukan nasi. Wedeh..kenyang deh pokoknya.

Setelah istirahat sebentar di rumah sepupu yang berada di Gowa, saya diajak muter-muter. Melewati Istana dan balai pertemuan kerajaan Gowa yang saat itu sedang dipugar (mungkin kalo sekarang udah selesai renovasinya). Yang cukup menarik dari bangunan itu adalah ukuran balai pertemuan yang lebih besar dari istana. Balai pertemuan berupa rumah panggung setinggi kurang lebih 4-5 meter, sementara yang disebut istana malah lebih kecil dari itu.

Oke, tujuan wisata pertama saya di Makassar adalah Pantai Losari. Saya sudah banyak mendengar cerita mengenai pantai ini, dan sekarang adalah waktu yang tepat untuk melihatnya sendiri. Namun sesampainya di sana, saya malah gigit jari, Haah ternyata begini doang?? Karena ada reklamasi pantai, otomatis nggak ada pantai berpasir. Parkir di depan Losari, jalan sedikit, Anda akan langsung menemui laut. Ya, perairan yang cukup dalam tanpa bertemu hamparan pasir. Gw jadi berasa bukan sedang di pantai, tapi di pelabuhan. Bedanya ngga ada kapal-kapal segede gaban yang menclok di deket situ. Di pantai Losari ini pengunjung bisa turun ke bawah menuju perairan karena disana ada puluhan tong berwarna biru mengapung yang dirakit menjadi sebuah jalan atau tempat untuk sekedar melihat pemandangan sekitar.

Saya disana cuma sekitaran 15 menit, lalu (Alm) mas Daeng mengajak saya makan di sebuah kios kecil sebrang Losari. Menu yang membuat saya tertarik adalah Nasi Campur. Hmm kira-kira kayak apa ya? Akhirnya saya pun memesan Nasi Campur. Dan ternyata oh ternyata itu adalah nasi dengan lauk yang banyaaaak aja. Ada abon, telor, daging, sambel goreng, oseng tempe. Huhuhuhu yang ada gw bingung gimana ngabisinnya..

Setelah perut kembali terisi penuh, kami lalu jalan ke kawasan wisata Trans Studio. Cuma lewat aja, ya..nggak masuk. Mahal bow..! Ternyata dilihat dari luar Trans Studio ngga gede-gede amat tuh. Biasa aja.

Lalu perjalanan saya terus berlanjut menuju Makam Sultan Hasanuddin. Saat menuju ke sana, kami melewati Masjid tertua di Gowa yang menjadi cagar budaya, yaitu masjid Al Hilal atau disebut juga masjid Syekh Yusuf karena berada di jalan dengan nama yang sama. Walau masjid dibangun sejak zaman kesultanan Gowa (sekitar 1603), tapi terlihat bahwa masjid itu sudah mengalami pemugaran beberapa kali.

Dari sana, kami menuju Pemakaman Kesultanan Gowa, yang ternyata berada di tepi jalan yang tidak terlalu besar. Di tengah komplek pemakaman terdapat sebuah bangunan kecil, dimana di dalamnya ada patung Sultan Hasanuddin yang memakai pakaian adat Sulawesi berwarna merah. Di temboknya kita juga bisa melihat daftar kepemimpinan Kesultanan Gowa sejak jaman Belanda.

Mengitari komplek pemakaman itu seluruh bangunan makam dibentuk seperti rumah kecil dan terbuat dari batu hitam. Yang membuat makam Sultan Hasanuddin berbeda adalah patung ayam jantan di atas makamnya. Berdasar info yang saya baca di makam Hasanuddin, dia menjadi raja di usia 23 tahun dan merupakan raja ke-16 di Gowa. Di sana selain makam Sultan Hasanuddin yang dikenal sebagai pahlawan nasional, juga terdapat makam sultan-sultan Gowa lainnya.

Selepas dari sana sudah sore dan saya balik istirahat lagi di rumah sepupu. Sembari menunggu malam, saya disuguhi keripik pisang. Tapi yang menarik adalah keripik itu disuguhi dengan sambal. "Rasanya kurang kalau makan ngga pake sambal. Bahkan kalo makan ubi goreng juga harus pake sambal," kata Kak Cacy. Alamak..

Malamnya, saya diajak wisata kuliner lagi. Kali ini ke warung yang menyuguhkan Sop Saudara. Hah apaan tuh??? Ngga mungkin sodara-sodara dibikin sup kan ya..Saya mikirnya makanan itu kayak soto ayam. Ternyata Sop Saudara itu lebih mirip kayak tongseng, tapi bahan dasarnya daging sapi. Beda dengan Coto Makasar yang kuahnya lebih kental, Sop Saudara ini cair. Yang membuat mak nyusss adalah kuahnya yang kaya rempah. Saya ngga ahli soal bumbu (karena saya ngga bisa masak), tapi ladanya kerasa banget. Huah mantaplah pokoknya! Tapi satu hal yang saya pikirin adalah, gila juga kalau makan kayak beginian setiap hari, kolesterol bisa tinggi cuy..Secara tadi pagi udah makan Coto yang bahannya jeroan dan daging, sekarang daging lagi..Duh makanan enak emang terkadang nyusahin.

Eniwei, besok paginya saya langsung ngepak tas untuk menuju pelabuhan Makasar. Sebelumnya saya udah dipesenin tiket kapal ke Baubau sama sepupu jauh yang kebetulan punya biro travel. Jadwal kapal berangkat pukul 10.00 WITA, jadi saya udah siap-siap dari jam 8 pagi. Sebenernya agak ngeri juga berangkat naek kapal sendirian, apalagi menurut info hasil searching internet perjalanannya ditempuh sekitar 8 jam. Untungnya pas lagi nunggu kapal, ada seorang ibu dan puterinya yang tujuannya sama dengan saya dan mereka berbaik hati menawarkan duduk bareng saat diatas kapal.

Banyak hal yang saya alami di kapal Pelni itu, secara saya naeknya di kelas Ekonomi. Jadi pastinya banyak hal yang bisa diceritain dari sana. Tapi..karena saya udah mulai capek ngetik, jadi lanjut besok ya..

Extraordinary Measures


Rating:★★★
Category:Movies
Genre: Drama
Film ini bisa dibilang agak-agak mirip sama Sister's Keeper. Perjuangan keluarga mendampingi anak/saudaranya yang terkena penyakit. Kali ini John Crowley (Brendan Fraser) yang berjuang demi dua buah hatinya yang terkena Pompe Disease (penyakit dimana tubuh tidak dapat mengolah gula secara normal). Crowley yang sudah punya posisi mapan di kantornya pun harus mengalah dan resign demi menemukan obat Pompe.

Titik cerah terlihat saat Crowley membaca artikel Dr Stonehill (Harrison Ford), ilmuwan yang punya teori paling mendekati untuk menemukan obat bagi penderita Pompe. Stonehill dan Crowley pun akhirnya berjuang untuk mendapatkan dana penelitian, mulai dari menggalang penghimpunan dana sampai mempresentasikan ke perusahaan biofarmasi.

Kisah perjalanan Crowley sampai akhirnya berhasil menemukan obat buat dua anaknya memang patut diacungi jempol. Tapi saat di pertengahan film malah jadi terasa agak membosankan..

Saturday 9 July 2011

Apa Itu Wartawan Sejati?

Apa sebenarnya arti dari wartawan sejati?
Salah satu topik perbincangan dengan seorang teman di telepon pagi ini membuat saya terhenyak. Teman saya ini adalah salah seorang jurnalis di tempat saya bekerja dulu. Hari ini saya mendengar cerita dari teman saya itu (sebut saja A-kok kayak berita kriminal gini ya?:p. Sengaja namanya disamarkan, saya ngga enak sama teman saya itu), ternyata kepindahan saya masih dibicarakan di kantor dulu. A ini bercerita kalau ada salah satu orang yang menyatakan bahwa mereka kecewa dengan kepindahan saya ke 'rumah baru' (majalah).
Mengenai itu, saya bisa memahami dan menganggap hal itu wajar. Saya juga pasti bersikap seperti itu jika ada seseorang yang bekerja dengan saya lalu keluar. Tapi yang membuat saya terkejut adalah pernyataannya yang mengatakan seolah-olah bekerja di majalah adalah bukan wartawan sejati. Mengutip dari teman, pernyataannya kurang lebih seperti ini, 'Saya tahu dia (maksudnya:saya) itu pindah karena ingin lebih santai, padahal kemampuannya akan lebih terasah kalau di harian. Kalau di sana (tempat saya sekarang) seperti bukan wartawan sejati'.
Saya sebenarnya sudah pernah mendengar salah seorang atasan ngomong soal itu ketika saya mengajukan pengunduran diri. Saat itu dia menanyakan apa saya benar-benar ingin menjadi wartawan? Saya mengiyakan. Tapi lalu dia mengatakan, kalau saya pindah ke tempat saya sekarang, saya tidak akan menjadi wartawan dan tidak akan berkembang, tapi hanya seperti seorang PR. Dia menyimpulkan itu hanya melihat dari wikipedia dan belum melihat majalahnya. (Setelah saya bilang mau pindah ke majalah, dia langsung search di mbah Google soal media ini).
Jujur, saya tidak setuju dengan hal itu. Pemahaman saya mengenai wartawan adalah seseorang yang mencari, menghimpun, mengolah fakta dan menulisnya menjadi berita. Pemahaman yang saya terima saat saya kuliah.
Sebagai info, media tempat saya bekerja sekarang mengkhususkan diri pada ekonomi keuangan syariah. Isinya tentu saja mengenai isu-isu keuangan syariah tertentu, bisa mengenai wirausaha sukses syariah, akad syariah, maupun bisnis suatu lembaga keuangan syariah. Sama seperti media lainnya, media ini juga ada advertorial. Alur pekerjaannya sama seperti jurnalis lainnya. Saya meliput, mengolah dan menulisnya menjadi berita atau feature yang arahnya mensosialisasikan mengenai ekonomi keuangan syariah Indonesia. Lalu, apakah pekerjaan seperti itu bisa dibilang bukan wartawan (sejati)?
Ya saya akui jika bekerja di harian setiap harinya kita akan menemukan deadline dan kemampuan menulis bisa lebih terasah. Tapi mengenai pengembangan diri, saya yakin hal itu akan berpulang pada pribadi masing-masing. If you want to do more and be a successful person, you will always search a way to develop and leverage your competence and skill. If you're happy with your condition and do not want to change it, then don't do nothing. It's simple.
Saat mendengar cerita dari teman saya itu mengenai 'wartawan sejati', awalnya saya marah, lalu kecewa. Sekarang saya malah jadi sedih dan terus mikir, apa iya ukuran wartawan dinilai dari hal-hal yang tadi?
Apa sebenarnya arti dari wartawan sejati?

Wednesday 6 July 2011

Saung Sari


Rating:★★★
Category:Restaurants
Cuisine: Other
Location:Ciwidey, Bandung
Saya mampir ke rumah makan ini waktu dalam perjalanan ke Kawah Putih dengan teman-teman kantor minggu lalu. Berhubung waktu itu kita sampenya udah mendekati jam makan siang dan perut juga menuntut untuk minta diisi, akhirnya kita memutuskan untuk berhenti sebentar di Saung Sari (hasil rekomendasi dari teman yang memang orang Bandung).

Melihat sepintas, tempat makannya nyaman juga untuk nongkrong. Sesuai dengan namanya, tempat makan ini terdiri dari bilik-bilik saung bambu. Ada yang satu saung berdiri sendiri, ada juga saung yang lumayan besar dan terdiri dari tiga bilik. Yang juga bikin enak adalah adanya colokan listrik di tiap bilik, jadi mau charger HP atau laptop bebas..hehehe. Selain itu, saung yang dilengkapi sama taman bermain dan ada kebun stroberi yang bisa dipetik sendiri membuat anak-anak kecil pasti betah disana. Ngga cuma kebun stroberi dan taman bermain, resto ini juga nyediain gubuk oleh-oleh, isinya segala macam pernik yang bentuknya stroberi, seperti boneka atau bantal.

Ngomongin soal makanannya, untuk harga bisa dibilang standar. Satu paket timbel komplit ayam bakar dihargai Rp 22 ribu. Isinya nasi, ayam, lalap, tahu, tempe, ikan asin, sambal, sayur asem. Nasi dan ayamnya bolehlah ya..Kematangan ayamnya pas dan rasanya juga oke. Tapi yang kurang memuaskan adalah ikan asin dan sayur asemnya. Punya saya, ikan asinnya keras banget untuk digigit, sementara sayur asemnya sama sekali ngga berasa asem, tapi malah manis. Dan..sayur asemnya disajikan telat, setelah semua nasi timbel sudah nyaris habis. Sayurnya juga ngga disajikan hangat, jadi berasa gimana..gitu karena makan sayurnya dingin. Entah memang pelayannya lupa atau gimana, saya ngga tau juga. Tapi secara keseluruhan rumah makan Saung Sari masih okelah untuk dijadikan tempat istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke kawasan wisata di Ciwidey..

Tuesday 5 July 2011

Detektif Ekonomi

Rating:★★★★★
Category:Books
Genre: Business & Investing
Author:Tim Harford
Sepertinya baru ini buku ekonomi yang sukses tidak membuat saya cepat bosan. Buku Detektif Ekonomi ini sebenernya udah terbit dua tahun lalu, tapi saya baru nemu di toko buku beberapa minggu lalu. Maklum, biasanya lorong yang pertama kali saya samperin di toko buku adalah deretan novel, jadi wajar saja kalau buku ini kelewat.

Buku Detektif Ekonomi ini berisi mengenai cerita-cerita dibalik harga sebuah produk (contoh: kopi) yang bisa begitu mahal, perdagangan bebas, harga saham dan solusi yang dia utarakan untuk mengatasi masalah ekonomi di negara dunia ketiga serta kemacetan dan polusi!

Satu idenya yang saya sukai adalah mengenai penetapan pungutan eksternalitas untuk kendaraan bermotor. Kenapa dinamakan pungutan eksternalitas? Ini karena kendaraan bermotor menimbulkan polusi (hasil eksternal dari kendaraan), sehingga membahayakan kesehatan pengguna jalan lainnya (baca:pejalan kaki). Jadi warga yang ingin menggunakan kendaraan pribadi dikenakan pungutan ketika ingin melintasi suatu wilayah (biasanya diterapkan di jalanan yang sehari-harinya macet). Jadi hanya orang-orang kaya banyak duit banget, mungkin, yang lewat di jalan. Selain akan mengurangi kemacetan, polusi juga akan berkurang kan...Pengguna kendaraan pribadi juga akan 'terpaksa' menggunakan transportasi umum. Ini dia yang namanya efisien dan efektif. Memang, berapa biaya yang bisa ditentukan dari kerugian yang mungkin timbul dari polusi kendaraan akan berbeda-beda dan sulit untuk ditentukan. Tapi pasti bisalah..kira-kira diitung pungutan yang wajar untuk itu. Nah uang pungutan ekternalitas ini nantinya bisa digunakan untuk biaya penelitian teknologi ramah lingkungan atau pengembangan transportasi umum.

Well, pungutan seperti itu sudah pernah diterapkan sebelumnya di London (klo ngga salah) dan berhasil. Waktu baca soal pungutan itu rasanya memang menumbuhkan semangat, tapi kalau dipikir hal itu akan diterapkan di Indonesia kok kayaknya semangat saya melempem lagi, ya..hehehehe. Masalahnya transportasi umum di Jakarta saja masih belum memadai dan terkadang kurang manusiawi, belum lagi ada kekhawatiran uang pungutan itu rawan dikorupsi oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Padahal untuk transportasi umum saja jumlahnya tentu harus banyakkk bangettt (secara ada ribuan orang kerja di kawasan Sudirman aja).

Selain memaparkan mengenai masalah sosial itu, Harford juga ngebahas soal di balik harga-harga produk, dimana banyak faktor yang mempengaruhi, seperti lokasi, kuasa kelangkaan, juga inside information. Tim Harford juga mengupas analisisnya tidak hanya sebagai ekonom, tapi dengan memosisikan diri sebagai konsumen. Penuturannya mengalir, dan mudah dipahami membuat buku yang menjadi Sunday Times BestSeller ini tidak terasa membosankan. Yang paling penting, buku ini tidak penuh dengan bahasa ekonomi yang terkadang njelimet. Jadi tidak selamanya harus berkerut dahi saat membaca buku ekonomi. Selamat membaca!

Friday 1 July 2011

Limitless


Rating:★★★
Category:Movies
Genre: Action & Adventure
Ini film Bradley Cooper terbaru yang saya tonton, setelah The A-Team atw Valentine's Day ya..Saya lupa. Tapi setelah sekian lama nggak ngeliat Cooper, jadi penasaran pengen nonton film Limitless ini. Emang saya ga sempet nonton di bioskop, tapi dari donlot-an, hehehe.. Eniwei, sebenernya saya berharap film ini setidaknya seperti The A Team, action comedy gitu..eh tapi ternyata bukan..

Limitless bercerita soal seorang pecundang bernama Eddie Morra (Cooper) yang akhirnya jadi orang sukses setelah meminum obat NZT yang dikasih sama adik mantan istrinya, pil mahal yang satu biji harganya 800 dolar. Setelah minum obat ini, tiba-tiba segala panca indra Morra jadi bisa terpakai secara maksimal, otak juga jadi encer, memori yang mungkin kita anggap ngga terlalu penting dan pasti akan kita lupa tiba-tiba bisa keinget. Katanya (dalam film ini) di keseharian kita hanya memakai sekitar 20 persen dari otak kita, nah dengan pilnya si Morra itu seluruh panca indra dan otak kita bekerja maksimal.
Alhasil si Morra pun jadi produktif banget. Draft buku yang lagi dia kerjain selesai dalam beberapa hari aja, terus belajar bahasa asing dan fasih mengaplikasikannya hanya dengan ngedengerin audio bahasanya.

Punya otak encer gitu tentu nggak mau disia-siain sama Morra. Untuk mengeruk keuntungan finansial lebih besar, Morra memutuskan untuk bermain di bursa saham. Sejak dia masuk ke bursa dan jadi broker itulah nama Morra terkenal dan berbagai masalah mulai menghampiri, jadi incaran preman dan hampir dibunuh. Termasuk pada akhirnya Morra jadi kecanduan, sementara persediaan obat udah menipis. Serta efek samping obat yang ternyata cukup membahayakan.

Anyway, menurut saya film yang diangkat dari novel berjudul 'The Dark Fields' karya Alan Glynn ini secara keseluruhan standar aja tuh. Walaupun Morra dikejar-kejar sama gangster, pontang-panting nyari NZT dan informasi soal efek sampingnya, saya merasa kurang dapet gregetnya dari film ini. Kalo ngeliat dari filmnya kok malah tersirat kalau elo pun bisa berhasil tanpa berusaha apa-apa (cuma minum obat doang). Ya saya akui untuk mencapai kesuksesan di pasar saham, Morra rajin ngeliat-liat dan menganalisis saham, tapi teteup kesan kalau dia sukses karena minum NZT ngga bisa dipungkiri (toh obat itu yang jadi inti ceritanya). Walau pada akhirnya Morra bisa berhasil bertahan sukses tanpa minum NZT lagi, tapi saya ngeliatnya kesuksesan pemeran utama di film ini ya awalnya tanpa usaha, hanya karena minum obat.