Monday, 4 March 2013

Grameen Social Business

Just want to share an article I wrote months ago about Social Business which developed by Muhammad Yunus.

Bangladesh, 1974. Tahun itu mungkin tak akan pernah terlupakan bagi masyarakat Bangladesh. Setelah menjalani perang kemerdekaan di tahun 1971 tak disangka negara itu mengalami rentetan bencana alam. Luka perang yang masih membekas itu kemudian diperparah dengan sejumlah bencana alam yang menyusul, mulai dari banjir, kekeringan dan angin ribut. Kelaparan massal pun tak ayal menerpa masyarakat. Kondisi itu juga menimbulkan masalah sosial di masyarakat Bangladesh, termasuk kemiskinan. Banyak orang terjerat utang untuk memenuhi kebutuhannya.

Masalah sosial yang terjadi saat itu menarik simpati seorang dosen Universitas Chittagong bernama Muhammad Yunus, yang kemudian melakukan observasi awal di suatu wilayah dekat universitas, bernama desa Jobra. Di sana ia menemukan bahwa orang miskin tercekik oleh utang rentenir. Dari sanalah kemudian bermula kisah tentang Grameen Bank yang sudah cukup banyak diulas media, apalagi setelah Yunus memperoleh penghargaan Nobel Perdamaian pada 2006.

Bermula dari sebuah desa Jobra, konsep Grameen Bank berkembang ke sejumlah negara. Bahkan hingga ke Amerika yang dikenal sebagai salah satu pusat kekuatan finansial dunia. Grameen Bank membuka cabang Grameen America di New York, dengan cabang pertama dibuka di Queens. Selanjutnya berkembang di Brooklyn, New York, Omaha, Nebraska, California dan San Francisco. Sebagian besar nasabah di negara Paman Sam itu adalah single mother yang berjuang menafkahi keluarganya.

Di Bangladesh sendiri Grameen Bank telah menyalurkan pinjaman sebesar 8,5 miliar dolar kepada the poorest dan kaum wanita. Salah satu program yang sedang dijalani Grameen di Bangladesh adalah penyediaan solar home system (sistem listrik tenaga surya) di setiap rumah. Hingga November 2012 ditargetkan jumlah rumah tangga yang menggunakan solar home system mencapai 1 juta.

Namun ternyata Grameen Bank itu hanya berupa awal dari pengembangan bisnis yang disebut Yunus sebagai bisnis sosial. Yunus memaparkan dalam bisnis sosial investor bertujuan membantu orang lain tanpa bermaksud mendapat keuntungan. Yunus menyebutnya perusahaan tanpa rugi sekaligus tanpa dividen. Walaupun kata ‘sosial’ melekat di frasa tersebut, bukan berarti segala yang dihasilkan adalah hibah.

Social business is a business. Kegiatan bisnis sosial bisa tetap berlangsung karena ia menopang dirinya sendiri dan tetap menghasilkan pendapatan untuk membiayai operasional bisnis. Jika di tengah jalan investor ingin mengambil dana investasinya, hal itu tidak menjadi masalah. Namun satu hal yang ditekankan adalah dana investasi yang dikembalikan nilainya sama dengan yang diberikan sebelumnya, walau mungkin nilai uangnya tidak seberapa di masa mendatang. Misalnya jika Anda berinvestasi Rp 10 juta di 2012 dan memutuskan untuk mengambil dana investasi pada 2022 maka Anda akan memperoleh kembali uang sebesar Rp 10 juta. Bukan dengan jumlah uang yang setara dengan Rp 10 juta pada 2022.

Perbedaan CSR dan Bisnis Sosial
Dalam kuliah umumnya bertema The Role of Social Entrepreneurship in Poverty Alleviation di Jakarta pada Oktober 2012, Yunus juga memaparkan perbedaan antara kegiatan CSR perusahaan dengan bisnis sosial. Dalam kegiatan CSR, hal yang harus dilakukan perusahaan pertama kali adalah memaksimalkan laba baru menambah unsur bersifat sosial. Sementara bisnis sosial dirancang untuk memecahkan masalah sosial bukan memaksimalkan keuntungan atau mencetak laba bagi para investor, jadi perhatian tidak terbagi.

Yunus mengungkapkan walaupun bisnis sosial bukan lembaga nirlaba, bisnis sosial tidak mengejar laba mati-matian seperti halnya perusahaan yang bertujuan memaksimalkan laba. Menurut Yunus, hal itu dikarenakan alasan moral, tidak benar rasanya jika mencari untung dari kaum miskin.

Lalu apa bedanya bisnis sosial dengan kewirausahaan sosial? Banyak orang menganggapnya sama, tetapi menurut Yunus kedua hal itu berbeda. Dalam buku Building Social Business yang ditulisnya, Yunus mengatakan kewirausahaan sosial terkait dengan pribadi, menggambarkan prakarsa dengan konsekuensi sosial yang diciptakan wirausaha yang punya visi sosial. Prakarsa itu bisa berupa prakarsa nonekonomi, amal atau bisnis dengan atau tanpa keuntungan untuk diri sendiri. Ada pula kewirausahaan sosial yang menempatkan proyek di LSM atau kegiatan peraihan laba. Sementara, bisnis sosial sangat spesifik yaitu tanpa rugi tanpa dividen yang memiliki tujuan sosial.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana membentuk dan mengawali bisnis sosial? Kuncinya adalah percaya dengan apa yang anda lakukan dan kreativitas. Masalah dana? It will come to you. No need to worry. Menurut Yunus, suatu ide bisnis sosial yang dimiliki oleh seseorang akan menarik investor dengan sendirinya. Dalam membangun bisnis sosial itu pastinya tidak langsung sukses dalam sekejap. Ada proses dan kegagalan di sana, tetapi itu menjadi proses pembelajaran. Skill harus terus menerus diasah. Untuk memecahkan masalah sosial pun tidak perlu menunggu inisiatif pemerintah, karena kita punya kapabiliti untuk memecahkan masalah. “Look around, ketika ada problem mungkin bisnis sosial bisa masuk,” cetus Yunus.

Dari hasil observasinya, kemiskinan yang terjadi di dunia adalah karena faktor eksternal dan sistem yang berlangsung di sekitar kaum miskin sehingga mereka kurang mendapat kesempatan untuk berkembang. Yunus menuturkan untuk mengubah sistem yang kurang berpihak dengan kaum miskin adalah dengan melakukan hal yang berlawanan dengan sistem.

Bisnis Sosial Grameen
Ada beberapa bisnis sosial yang dibangun mandiri oleh Grameen. Tetapi ada pula sejumlah bisnis sosial yang dibangun adalah bersama dengan perusahaan multinasional. Grameen bekerja sama dengan Danone membuat yogurt untuk mengatasi kekurangan gizi, dan menjualnya dengan harga terjangkau. Yogurt ini diperkuat dengan mikronutrien yang hilang dari sebagian besar makanan yang dikonsumsi anak-anak, sehingga dengan memakan yogurt tersebut anak-anak bisa mendapatkan gizi yang hilang sebelumnya.

Bisnis sosial lainnya adalah Grameen Veolia Water, bekerja sama dengan perusahaan Prancis untuk penyediaan air minum yang bersih dan berkualitas. Ada pula dengan perusahaan Jerman bernama BASF untuk pembuatan kelambu antinyamuk. Hingga kerja sama dengan perusahaan sepatu Adidas dengan membentuk Grameen Adidas untuk penyediaan sepatu seharga di bawah 1 euro.

Bisnis sosial ini memiliki inti bahwa tujuan bisnis adalah untuk mengatasi kemiskinan, bukan memaksimalkan keuntungan. Kesuksesan suatu bisnis sosial pun tidak diukur berdasar keuntungan yang diperoleh, tetapi seberapa besar bisnis tersebut mampu memecahkan masalah sosial. Salah satu hal yang menjadi inti dalam menjalankan bisnis sosial, yang disampaikan Yunus dalam bukunya, adalah Dikerjakan dengan Senang Hati!!!. Dengan demikian mimpi dunia bebas kemiskinan perlahan dapat terwujud. “So that we can put poverty in museum,” tutup Yunus.

No comments:

Post a Comment