Saturday 17 May 2014

Europe On Screen 2014 - Extended Version

Europe On Screen (EOS) 2014 akhirnya usai pekan lalu. Ada sejumlah catatan menarik saat saya berkesempatan untuk turut serta menjadi penonton di tahun ini. EOS adalah acara nonton film gratisan terbaru yang saya ikuti, setelah lebih dari 5 tahun saya ngga ngikutin acara seperti ini. Dulu saat saya masih kuliah (lupa tahun berapa), saya sempat rajin ngikutin Jakarta International Film Festival (Jiffest). Tapi kesibukan skripsi dan bekerja setelahnya, membuat saya ga update lagi soal acara-acara begituan. Makanya, pas liat iklan EOS di salah satu majalah, saya langsung excited banget.

Total ada 13 film yang saya tonton di EOS 2014 dari puluhan film yang ditayangkan (seluruh film yang saya tonton sudah diposting sebelumnya). Beda dengan masa kuliah dulu yang waktunya lebih fleksibel, pada kesempatan kali ini saya memang cuma bisa nonton pas weekend. Di waktu itulah saya bisa nonton sepuasnya dari siang sampai malam. Sampai, adek saya terkaget-kaget. Saya sih ngeresponnya cuma: Ya..kapan lagi? Lagian juga gratis inih, hehehe.

Di EOS 2014 saya hanya memilih film-film yang diputar di Erasmus Huis dan Goethe Haus. Kenapa? Karena mereka bisa menampung hingga lebih dari 300 seats. Beda dengan venue lainnya, seperti Istituto Italiano di Cultura dan Institut Francais Indonesia yang hanya 100 seats. Jadi...dengan menonton di Erasmus dan Goethe akan punya lebih banyak peluang dalam mendapatkan tiket :p. Sementara, untuk perbandingan dua venue itu ada beberapa spot yang patut diperhatikan ketika memutuskan untuk menonton di Erasmus atau Goethe.


Venue Erasmus Huis
Mari kita bahas Erasmus dulu. Erasmus terletak di Kuningan, pas sebelahan dengan kantor kedubesnya. Buat yang les bahasa Belanda bisa daftar kesini juga. Di dalamnya ada beberapa fasilitas, seperti kafe sampai musola. Untuk musola, saya lebih suka yang ada di Erasmus sini karena lebih luas dan nyaman dibanding Goethe. Lokasi musola ada di bagian belakang. Nah, untuk auditoriumnya terletak di lantai 2. Auditoriumnya cukup luas dengan sebagian besar kursi ditempatkan di bagian tengah. Ada juga kursi yang ditempatkan di sisi kanan dan kiri layar, tapi kurang pewe buat nonton sebenarnya. Untuk spot nonton di Erasmus yang paling enak adalah di kursi paling depan. Mungkin ada yang bertanya-tanya: bukannya kalo nonton paling depan leher akan pegal? Tidak, kalo anda hanya seseorang dengan tinggi 150 cm :p. Desain auditorium Erasmus bukanlah laiknya seperti di bioskop yang berundak, tetapi rata dari belakang sampai depan. Makanya, kalau duduk di bagian tengah hampir pasti kamu akan kesulitan melihat layar di depan karena ketutupan orang. Yang ada badan akan bergeser ke kiri dan kanan demi melihat layar. Daripada pegel seluruh badan, mending leher aja yang pegal. Hehehe.


Venue di Goethe Haus
Sementara, venue di Goethe didesain berundak. Ini yang membuatnya lebih enak buat dijadiin tempat nonton. Ruangan tempat duduknya dibagi tiga, di bagian atas, tengah dan bawah. Tapi ada satu spot nonton paling enak di sana, yaitu di bagian tengah venue, di kursi atas. Jarak layar-tempat duduk dan ketinggiannya pas.  Ngga heran setiap pemutaran film pasti bagian tengah yang penuh duluan. Mau ga mau emang harus nungguin pas di depan pintu masuk biar dapet antrian paling depan dan bisa duduk di spot itu.
Tempat nongkrong yang asik di Goethe

Eniwei, sebagai persiapan saya sebelum berangkat nonton biasanya adalah membeli sebotol air mineral dan roti di minimarket sebagai bekal. Berhubung di dalam auditorium ga boleh makan-minum, maka saya melakukannya di sela-sela pemutaran film berikutnya. Baik di Erasmus maupun Goethe punya tempat asik buat nongkrong sembari menunggu film.

Nah ada hal yang menarik di hari pertama nonton di Erasmus, sebelum pemutaran Walesa: Man of Hope, pas saya naik ke lantai 2 untuk masuk ke auditorium, ternyata di ruangan sebelah auditorium ada acara makan-makan. Bukan jenis makanan berat sih, tapi hanya sekedar snack saja. Saya mengira akan menemukan risol, kue sus, atau lemper gitu ya pas masuk ke dalem. Eh ternyata pas dilihat lebih dekat jenis snack-nya ala Barat. Ngga tau deh apa namanya.


(Kiri) Deretan snack ala Barat;
(Kanan) Pos minuman: Jus jeruk, jus jambu dan wine
Saya cuma mencicip satu jenis snack, potongan french bread dengan topping mashed avocado dan dua buah udang rebus. Rasanya aneh, hambar. Jadi kangen sama sosis solo, serabi dan aneka jenis jajanan pasar lainnya :p. Yang ga biasa juga adalah mereka juga menyediakan wine. Untungnya ada pilihan jus jeruk sama jus jambu, kalo ga ya seret aja deh itu tenggorokan :D. Saya ngga tau kenapa saat itu ada jamuan snack, tapi dugaan saya adalah itu salah satu compliment dari Kedubes Polandia sebelum nonton film Walesa. Soalnya selain itu, belum ada jamuan lagi selama pemutaran film kecuali pas penutupan acara.


Antrian di Erasmus untuk nonton Philomena
Lalu bagaimana antrian selama EOS 2014? Di minggu pertama bisa dibilang ga ada antrian panjang. Paling cuma 5-10 orang yang ngantri lalu dapet tiket. Tapi, di minggu terakhir EOS 2014 antriannya bagai ular naga panjangnya. Mungkin karena itu minggu terakhir dan film yang diputer kebetulan juga bagus, jadi kayak begitu. Misalnya pas mo nonton Delicacy sama Philomena. Udah jadi kebiasaan para penonton (termasuk saya), kalo mau lanjut nonton film berikutnya, maka selesai nonton satu film pasti akan langsung lari ke bawah buat antri tiket lagi. Nah, ga disangka selesai nonton Searching For Sugar Man, pas saya lari ke bawah buat antri tiket Delicacy, udah ada lebih dari 100 orang yang antri disana. Malah, pas selesai nonton Delicacy dan antri untuk tiket Philomena, antriannya udah panjang banget, lebih dari 200 orang kayaknya.


Editor Final Cuts - Ladies & Gentlemen, Nora Richter (sebelah kiri)
Yang membuat EOS menarik juga hadirnya sejumlah pembuat film. Saya berkesempatan bertemu dengan salah satu editor Final Cuts - Ladies & Gentlemen -, Nora Richter. Dia adalah salah satu dari empat editor yang bekerja selama tiga tahun untuk membuat film itu. Tahun pertama dihabiskan hanya untuk menyortir film-film yang akan dimasukkan ke film ini. Proses penyortiran film, adegan dan editing pun melalui ribuan jam diskusi, berpak-pak rokok dan ribuan cangkir kopi. Nora juga membicarakan soal hak cipta dari film ini. Berhubung menyangkut hak cipta lebih dari 500 film maka Final Cuts tidak bisa ditayangkan di bioskop untuk keperluan komersial. Film ini hanya boleh ditayangkan di festival film yang non komersial, for educational purpose only. Namun hingga sekarang tim pembuat film Final Cuts sedang terus berusaha untuk mendapatkan  ijin dari production house agar ke depannya film ini bisa tayang di bioskop. Saya merasa beruntung bisa melihat film ini :)


No comments:

Post a Comment